📝 Bab 25

723 87 93
                                    

Happy weekenddddddd

Pada kemana nih kawand??

Ini part kayaknya manis, kayaknyaaaa yaaaa. So, enjoy!





Magna tepar, pusing dan mual, bahkan sebelum tiba di Kulon Progo.

"Saya emang gini kalau abis makan udang, udah lah nggak usah lebay! Kamu keluar saja!" bentaknya galak. Dia nggak suka aku berlama-lama di kamarnya. Dari tadi dengan posisi meringkuk di atas tempat tidur dan enggan menatap sama sekali dia mengusirku.

"Itu gara-gara kamu hipertensiiiiii," balasku gemas. Aku lupa gitu saja saat sarapan tadi. Melihatnya pucat dan mual, baru teringat dan langsung emosi. Dia doyan udang, pagi tadi sarapan udang, astaghfirullah banget...

"Ayo deh cari klinik atau bidan!" bujukku lebih bersahabat.

"Kamu terusin aja surveinya, nanti saya juga mendingan! Ini kamu di sini malah bikin saya pusing tau nggak?" Suaranya makin lemah dari balik selimut, tapi masih kuat membentak. Benar-benar mengingatkanku pada nyokap. Tepar pun masih kuat nyepak pinggang orang, apalagi cuma membentak. Beda banget dari bokap. Demam dikit langsung ngirim wejangan panjang di grup keluarga, semua anaknya disuruh jenguk, satu persatu diajak ngobrolin masa kecil, kayak besok mau pergi beneran. 

Aku duduk di pinggir ranjang.  "Biasanya minum obat apa?" tanyaku sekali lagi.

Lama, Magna nggak kunjung menjawab. Kuusap-usap kepalanya, niat membantu biar pusingnya reda, tapi tanganku langsung ditepis. Aku geleng kepala. Akan lebih baik kalau dia lemas sampai nggak kuat melawan biar bisa kuangkut langsung ke mobil, bawa ke bidan, beres. Dari pada begini, diatur nggak bisa, diobati nggak mau, tapi merintih miris di tempat tidur bikin orang lain khawatir.

"Ya udah, saya cariin obat sebentar. Itu Bu Usu lagi ngupasin timun, nanti dimakan, ya!"

Aku keluar dari kamarnya. Kulihat Pak Usu ada di ruang tamu.

"Gimana, Mas?" sambut Pak Usu yang jadi ikut khawatir karena tadi Bu Usu berteriak memanggil beliau saat melihat Magna masuk ke rumah dengan berpegangan ke benda-denda yang dia lewati.

"Praktek bidan terdekat di mana, ya, Pak?" tanyaku.

"Waduh, tapi ini hari Minggu nih, Mas. Biasanya pada tutup praktek."

"Nggak apa-apa deh, Pak, saya coba dulu."

"Saya tanyain dulu aja deh, ya. Saya punya beberapa nomor bidan kok."

Kebetulan, jadi gue nggak perlu ngeborong obat hipertensi di apotek. "Oh, siap, Pak. Kalau bisa minta bidannya yang ke sini, gitu, Pak, gimana ya?"

"O, ya, boleh aja. Bentar saya ambil hape dulu."

Beruntung ada bidan yang bisa datang ke rumah saat ini juga.

Aku masuk lagi ke kamar Magna. Sepiring timun sudah ada di sebelahnya yang tidur.

Aku kembali memposisikan diri duduk di pinggir ranjang, di sebelahnya. Kuturunkan selimut yang dia gunakan sampai ke kepalanya. "Makan dulu ini timunnya. Biar cepat mendingan. Ada bidan mau ke sini."

"Nggak perluuuuu. Kamu tuh urus aja surveinya, jangan ngurusin saya!"

"Kalau kamu udah diperiksa, nanti saya lanjutin survei."

Dia mendecak super gemas. "Saya tuh nggak apa-apa, Nabil!"

Nggak apa-apa, tapi nangis?

"Kamu keluar aja deh!"

Aku sudah mirip setrikaan karena bolak-balik kamar Magna ruang tamu selama menunggu bidan. Serba salah posisiku. Di dalam kayaknya cuma bikin dia makin emosi. Di luar khawatir kalau dia kenapa-kenapa. Kampret emang!

L*ve-thesisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang