📝 Bab 11

477 71 32
                                    

Kampret!

Harapan apanya?

Aku nyaris saja melemparkan hasil review jurnalku ke wajahnya andai tidak ingat nasib studiku yang tinggal dua semester dan akumulasi uang sewa kos yang seharusnya bisa kupakai sebagai DP nyicil rumah.

Penyebabnya?

Magna mengulurkan hasil review jurnalku begitu aku duduk di depannya. Bibirnya terkatup rapat dan napasnya dihembus pelan.

Aku mempelajari satu hal setelah usiaku lebih dari dua puluh tahun. Makin seseorang berusaha tenang, makin besar sebenarnya amarah yang dia tahan. Jadi aku sudah bersiap-siap saat ia mulai membuka mulut setelah itu.

"Saya nggak tahu gimana kamu mengerjakan review ini, asal comot jurnal atau memang kamu nggak paham pertanyaan dan batasan penelitianmu sendiri, tapi dari seratus jurnal kamu ini saya nggak dapat story line-nya sama sekali. Sama sekali lho, apa saya yang bodoh, ya, jadi nggak bisa memahami cara berpikir kamu?"

Aku membalas tatapan sinisnya dengan tenang dan mencoba untuk tidak mendecak selama dia mencecarku. Aku ingat persis dia meminta hasil review ini hari Senin. Padahal kalau targetnya satu bulan, seharusnya hasil ini kuberikan padanya hari Jumat minggu tersebut.

Asal comot, dia bilang? Enak saja! Aku tidak se-main-main itu pada tesisku. Story line yang dia maksud juga kupikirkan matang-matang, cuma memang belum kusempurnakan. Jurnal-jurnal yang dipakai untuk referensi penelitian memang seharusnya bisa dipadu dan mempunyai alur yang bisa menjelaskan permasalahan dari general ke khusus dan juga dari latar belakang hingga penyelesaian.

Kalau saja dia nggak tiba-tiba meminta hasilnya hari Senin, hasilku pasti nggak sehancur yang dia katakan. Berbekal pembelaan itu, aku berani membalas cecaran-nya. "Ini sepertinya karena saya belum sempat merapikan sampai akhir." Toh, ini bentuknya masih kolom, bukan narasi.

"Masalahnya bukan tidak rapi." Dia langsung menyela.

"I understand. Story line-nya, benar, kan? Menurut saya itu karena saya belum menyusun jurnalnya sebaik mungkin."

Dia menarik dan menghembuskan napas panjang. "You don't understand. Kalau seratus jurnal ini nekat kamu padukan, ceritanya nggak akan karuan. Paham, tidak?" bentaknya.

Aku menatapnya tepat di mata. Mari lihat apa maunya! Orang ini kemarin bisa ngobrol baik-baik kok. Aku nggak akan keder cuma karena sekarang dia membentakku lagi.

"Saya tau kamu bukan akademisi, tapi bahkan orang dewasa yang nggak pernah kuliah pun bisa mengerjakan lebih baik dari ini."

"Saya memang belum menyelesaikan sampai akhir. Kalau saya diberi tambahan waktu semalam aja, saya yakin hasilnya jauh lebih baik kok," sergahku setengah geram.

"Kamu masih nggak paham juga, ya? Masalahnya itu bukan di penulisan kamu." Lagi-lagi dia menyelaku dan kali ini tampangnya sangat jengkel seolah dia capek bicara denganku. "Logika penelitian yang mau kamu bangun ini yang nanti bisa bermasalah. Jurnal-jurnal ini kan pondasi logika penelitian kamu. Sekarang kalau pondasinya saja asal-asalan, kira-kira gimana bangunanmu nanti berdiri?"

"Oke. Saya perbaiki," balasku datar. Membuktikan pekerjaanku tidak asal-asalan itu gampang, tapi aku sudah keburu malas. Dia mengocehiku hal-hal dasar seolah aku nggak paham sama sekali. Nggak ada gunanya melawan argumen orang yang menilaiku remeh begitu.

"Kamu menulis indah pun orang yang cermat akan tau kalau kamu asal-asalan memilih jurnal."

"Saya izin bertanya dulu," sahutku mulai ikut muak meladeni serepetannya, apalagi kata asal-asalan yang dari tadi dia lontarkan. "Memangnya dari dua ratus jurnal yang harus saya review ini semua harus mirip dengan kerangka penelitian saya?"

L*ve-thesisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang