📝 Bab 20

534 76 60
                                    

Sore ini aku ke Semarang, tapi bukan untuk urusan pekerjaan melainkan bertemu bokap. Singkat cerita, bokap habis dari Pati mengecek tambak bandeng kepunyaannya, lalu sekarang pengen makan malam bersama anaknya. Berhubung Naren sedang di NTB, jadilah aku yang sore ini menyetir dari Solo ke Semarang via tol buat menemani bokap.

Bokap menginap di Ciputra karena tadi siang juga ada acara dengan teman SMA-nya di sekitaran Simpang Lima. Biar tidak kelamaan memilih, kami pun memutuskan makan di Solaria Ciputra Mall. 

Keluargaku memang fans Solaria garis absurd. Lagi di daerah mana pun, kalau ada Solaria kita pasti makan di Solaria. Karena rasa dan harganya sudah pasti enak dan terjangkau. Kami sampai punya jargon 'Makan Aman, Ya Solaria'. Nggak, itu ngarang. 

Lanjut!

Aku dan bokap bertemu di depan mall. Duluan bokap yang tiba. 

"Kok sendirian, Bro? Kirain sama temen-temennya," sapaku ketika baru saja menghampiri bokap.

Aku mencium tangan bokap, lalu kami berjalan masuk ke mall. Bokap sambil menjawab, "Ya, enggak lah, sama temen-temen sudah tadi. Ini acara khusus bapak sama anak."

Aku lantas terkekeh karena jawaban bokap. Bokap itu orangnya romantis, meski kalau di depan anak-anaknya sikap itu suka ditutup-tutupi. Buktinya habis berkata begitu tadi, sekarang menabok punggungku keras karena malu dan kuketawai.

"Sehat, Pa?"

"Sehat."

"Cantikku?"

"Sehat juga. Kamu juga sehat-sehat to?"

"Sehat." Ya, walau cuma sehat-sehatan, sebab aslinya badan sudah minta ganti sparepart semua.

Tiba di Solaria kami langsung memilih tempat duduk dan meminta daftar menu.

"Biasa kan?" tanyaku pada bokap.

"Biasa aja."

"Tambak gimana, Bro? Kayaknya habis ujan berhari-hari di sana," tanyaku lagi sambil menuliskan pesanan. Dua nasi goreng kambing dan dua teh tawar panas. Paket irit andalan kami.

"Masih aman, Bil. Banjirnya nggak sampai di tambak Papa. Cuma ya itu, harus dipantau terus kalau lagi hujan."

"Kalau lagi hujan, bandengnya disuruh pindah ke bak dulu pada nggak mau apa?"

"Bak kamar mandimu, ya?" sambut bokap pada kelakaranku.

Aku tertawa terhibur. Guyonan kami memang nyambung. Kalau Naren kadang tidak. Sebelum aku ke kasir, kembali aku bertanya kepada bokap, "Lha terus, itu, jadi beli pabrik pengolahannya nggak?"

Bokap menghela napas dan diam sebentar sebelum menjawab, "Memangnya kalau jadi papa beli, nanti kamu mau meneruskan, Bil?"

Aku meringis.

"Ya, itu pertimbangan Papa. Nanti sudah papa kembangkan sampai menghabiskan duit banyak, tapi kalau setelah Papa malah nggak ada yang melanjutkan ya percuma to. Papa juga nggak mau merepotkan kamu sama Naren. Kalian sudah nyaman dan mapan sama pekerjaan yang kalian pilih sekarang, ya itu sudah cukup buat papa."

Aku mengangguk-angguk. "Ah, ya sudah, deh. Berarti cukup yang sekarang itu saja dikelola ya."

"Nah, makanya. Toh tujuan awalnya kan cuma mengisi waktu setelah pensiun saja to."

Aku kembali mengangguk membenarkan. "Bentar, Nabil bayar dulu." Kutinggalkan bokap untuk ke kasir.

Bokap dulunya bekerja di salah satu perusahaan BUMN bonafid. Pensiun, kini mengelola beberapa tambak ikan bandeng di Pati, tapi tidak full-time alias bokap bayar pihak ketiga buat mengelolanya. Setahuku, dalam hidupnya bokap selalu mengutamakan kestabilan. Buat dirinya sendiri, begitu juga buat anak-anaknya. Makanya ketika dia melihat anak-anaknya sudah mapan dan bukan di jalan yang tidak dia sukai, bokap tidak merong-rong apapun lagi. Melihat anaknya punya hidup stabil itu sudah cukup buat bokap.

L*ve-thesisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang