Bab 1

745 262 409
                                    

"Kita hanya hidup sekali, jadi lakukanlah hal-hal yang membuatmu bahagia. Kalau kamu tidak berani mengambil risiko, kamu tidak akan pernah tahu sejauh apa yang bisa kamu capai. Saya bukanlah pria yang bisa dipahami dengan mudah, ada luka di balik senyuman ini."
~Rama Ardian Pradipta~

¤¤¤¤¤

Langit sore Jakarta memerah jingga, menyapa hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur. Aku duduk termenung di pojok kantin sekolah, menatap kosong ke luar jendela. Suasana kantin penuh suara tawa, tapi aku merasa asing.

Aku menarik napas panjang. Lagi-lagi, aku harus menelan kenyataan bahwa hidupku bukan milikku sendiri.

Sejak kecil, aku selalu hidup di bawah kendali orang lain-terutama ibuku. Sekolahku, cita-citaku, bahkan hobiku pun harus sesuai keinginannya.

"Rama, kamu harus fokus belajar! Masa depanmu ada di tangan Ibu," katanya tegas saat aku mengungkapkan keinginanku untuk mengikuti ekskul fotografi.

Aku hanya diam. Keinginanku tidak akan pernah dianggap penting.

Saat itu, aku melihat sesuatu di wajah Ibu. Tatapannya dingin, seolah-olah aku baru saja mengatakan sesuatu yang sangat bodoh.

Di sekolah, aku bukan hanya terikat oleh aturan Ibu, tapi juga perundungan.

"Lihat, si Rama! Dia culun dan pengecut!" teriak salah satu teman sekelasku, diikuti dengan tawaan lainnya.

Aku selalu berusaha diam. Aku tahu, melawan hanya akan membuat segalanya lebih buruk.

"Rama, kenapa kamu diam saja? Lawan dong!" seru Aisyah, satu-satunya teman yang selalu membelaku.

"Aku tak mau, Aisyah. Aku takut," gumamku pelan.

Aisyah menggelengkan kepalanya, merasa prihatin padaku.

Suatu hari, saat berjalan di lorong sekolah, aku bertemu Budi dan teman-temannya. Mereka mendorongku hingga terjatuh ke lantai.

"Hei, Rama! Berani lo ngelawan kami?" Suara Budi terdengar mengancam.

Aku tidak menjawab. Aku ingin pergi, tapi mereka mendorongku hingga terjatuh lagi.

Tiba-tiba, terdengar suara lantang.

"Berhenti! Jangan ganggu Rama!"

Aku menoleh dan melihat Aisyah berdiri di depanku, menghadang mereka dengan tatapan tajam.

Mereka terkejut, lalu pergi begitu saja.

Aku menelan ludah, masih duduk di lantai. "Terima kasih, Aisyah," suaraku bergetar.

Aisyah tersenyum kecil. "Aku akan selalu ada di sini untukmu."

Senyum itu... entah bagaimana, membuatku merasa sedikit lebih baik.

🖤🖤🖤

Hari-hari semakin berat. Aku semakin lelah, semakin kehilangan harapan.

Malam itu, aku duduk di kamarku, menatap foto Aisyah di meja belajar. Dia satu-satunya cahaya dalam hidupku yang gelap.

Aku bahkan tidak menyadari saat pintu kamarku terbuka.

"Rama," suara Ayah terdengar lembut. "Ibu bilang kamu belum makan. Kamu baik-baik saja, Nak?"

Aku ingin berkata, "Tidak, Ayah. Aku tidak baik-baik saja." Aku ingin menceritakan semuanya-tentang perundungan, tentang ketakutanku.

Tapi aku tidak bisa.

Jadi, aku hanya menggeleng. "Rama baik-baik saja, Yah," jawabku pelan.

Ayah menatapku lama. "Baiklah, kalau begitu jangan lupa makan, ya."

Setelah Ayah keluar, aku kembali menatap foto Aisyah.

"Sudahlah, Rama. Ini memang sudah menjadi takdirmu untuk menjadi korban bullying di sekolah."

Aku mengepalkan tangan, merasakan rasa sakit di dadaku semakin dalam.

🖤🖤🖤

Keesokan paginya, aku terbangun oleh suara ketukan pintu.

Tok tok tok.

"Rama, jam segini kamu belum bangun? Jangan salahkan Ibu kalau kamu terlambat ke sekolah!" teriak Ibu dari balik pintu.

Aku menatap langit-langit kamar, merasa kosong. "Iya, Bu," jawabku datar.

Aku bersiap seadanya dan berangkat ke sekolah. Setibanya di gerbang, aku mendengar suara yang familiar.

"Hai, Rama! Bagaimana kabarmu?" sapa Aisyah ceria.

Aku tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja."

Aisyah menatapku tajam. "Bohong. Aku tahu kamu tidak baik-baik saja. Ceritakan padaku apa yang terjadi."

Aku diam.

"Rama, kamu tahu kan, aku selalu ada untukmu? Kamu bisa menceritakan apa pun padaku. Jangan ragu untuk berbagi."

Aku menghela napas. "Aisyah, apa menurutmu aku ini laki-laki bodoh dan lemah?"

Aisyah mengerutkan kening. "Tidak."

"Tapi aku merasa begitu. Aku laki-laki bodoh dan lemah. Aku seorang pecundang yang tidak berani terhadap apa pun. Aku bahkan tidak bisa membela diriku sendiri saat direndahkan orang lain. Bahkan, aku tidak bisa menceritakan semua yang terjadi di sekolah kepada Ayah dan Ibu."

Aisyah menatapku dalam. "Kamu tidak lemah, Rama. Kamu hanya butuh bantuan."

Aku menggeleng. "Aku tidak ingin orang lain tahu."

"Rama," suara Aisyah melembut.
"Kesehatan mentalmu lebih penting daripada rasa takutmu."

Aku tidak menjawab, hanya menatap tanah.

"Percayalah padaku, Rama. Ada banyak orang yang peduli dan ingin membantumu. Kamu tak perlu melewati semua ini sendirian."

Aku mengangguk, dan untuk pertama kalinya, aku merasa ada seseorang yang benar-benar mengerti.

🖤🖤🖤

Saat jam pulang, aku dan Aisyah menemui Bu Luna, wali kelas kami.

Tok tok tok.

"Permisi, Bu," ucap Aisyah saat kami masuk ke ruang guru.

"Iya, ada apa?" Bu Luna menatap kami dengan bosan.

"Ada yang ingin kami bicarakan dengan Ibu. Boleh kami minta waktu sebentar?" tanya Aisyah sopan.

"Boleh, duduklah dulu," ucap Bu Luna mempersilakan kami duduk.

"Terima kasih, Bu."

Tanpa membuang waktu, Aisyah menceritakan semuanya. Aku berharap Bu Luna akan peduli.

Tapi harapan itu sia-sia.

"Ah, anak-anak memang seperti itu. Biarkan saja, nanti juga berhenti sendiri."

Aku menunduk. Aku ingin tertawa, tapi rasanya terlalu menyakitkan.

"Tapi, Bu-" ucap Aisyah terpotong.

"Sudahlah. Anak-anak remaja sekarang memang tidak lepas dari yang namanya perundungan. Seharusnya Rama bisa melawan mereka dan melindungi dirinya sendiri. Kalau masalah seperti ini saja Rama tidak bisa menjaga dirinya, bagaimana dengan masalah besar yang suatu saat akan menimpanya?" ucap Bu Luna merendahkan.

"Maaf, Bu. Tapi seharusnya Ibu tidak berbicara seperti itu."

"Lalu saya harus berbicara seperti apa lagi, Aisyah? Saya sedang sibuk, jadi lebih baik kalian pulang ke rumah."

Kami berjalan keluar dengan hati yang lebih hancur dari sebelumnya.

"Tidak seharusnya Bu Luna berbicara seperti itu!" Aisyah mendesis kesal.

Aku tersenyum miris. "Sudahlah, Aisyah. Aku tidak apa-apa. Mungkin yang dikatakan Bu Luna benar. Kalau masalah seperti ini saja aku tidak bisa menjaga diriku sendiri, bagaimana dengan badai kehidupan lainnya nanti?"

Aisyah menggenggam tanganku erat. "Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian, Rama."

🐼CELESTE, 19-08-2024🐼

Kapan Aku Bisa Menjadi Diriku Sendiri? [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang