Kabut senantiasa menyelubungi desa tempat tinggal Inara. Bahkan saat musim panas. Awan tipis nan gelap melayang di udara yang semakin menebal seiring dengan datangnya bulan purnama dan akan menyelimuti seluruh daerah tersebut. Malam bulan purnama adalah malam tergelap dalam satu bulan. Ketika pagi tiba, seorang penduduk hilang begitu saja menuju ketiadaan. Mereka tidak pernah kembali.
Ada sebuah legenda yang menceritakan bahwa kabut gelap tersebut sebenarnya adalah seorang Penumbra—pengendali bayangan—bernama Caligo yang dipisahkan dari kekasihnya yang merupakan seorang Luminaire—pengendali cahaya—bernama Vesta karena konflik di desa itu. Patah hati, Caligo pun melebur dalam kegelapan dan berubah menjadi kabut hitam yang masih mencari Vesta. Ia mengambil penduduk dari desa sebagai balas dendam.
Rupanya, penduduk desa saat ini berpikir bahwa Inara adalah semacam reinkarnasi Vesta, kekasih Caligo, yang dapat membasmi kegelapan yang ia timbulkan. Tentu saja ini mengejutkan. Selama delapan belas tahun hidupnya, Inara tidak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa ia seorang Luminaire. Penemuan ini baru diketahui sebulan yang lalu ketika Inara dan dua temannya bertingkah layaknya remaja bodoh dengan keluar dari rumah saat bulan penuh.
"Mungkin sebaiknya kita pulang." Janae, salah satu teman Inara, memandang sekitar, "Ini ide yang buruk. Aku hampir tak bisa melihat tanganku sendiri."
Satu jentikan jari seseorang dan muncullah cahaya. Tangan Zathrian diselubungi oleh api, bukan sebuah perumpamaan. Ia adalah salah satu dari sekian orang beruntung yang memiliki kekuatan supranatural. Janae dan Inara memutar bola mata. Dasar tukang pamer.
"Kau takut dengan Caligo, Jan?" goda Zathrian, api menyinari seringai lebar di wajahnya.
Caligo. Tubuh Inara gemetar mendengarnya. Ia ingin pulang. Mengapa pula ia setuju dengan ini?
"Bukan takut, tapi realistis. Aku tidak mau menjadi orang hilang selanjutnya hanya karena ingin melihat wujud asli Caligo."
Zathrian mendecakkan lidah, "Aku kan punya api. Sedikit kegelapan tidak akan membunuh kita."
Angin berhembus lebih kencang dan kabut bergerak mendekat ke arah mereka. Kabut itu terlihat aneh, tidak alami, sulur-sulur awannya tampak bagaikan cakar yang akan menangkap dan menelan. Api di tangan Zathrian berkedip sementara ia dan Janae terus beradu pendapat.
"Zathrian," suara Inara menghentikan argumen tersebut, "Apimu tidak akan tahan. Tidak ada yang bertahan, kau tidak ingat? Kita sudah melalui ini bertahun-tahun. Hanya ada gelap gulita saat bulan penuh."
"Tapi Inara—"
Janae memotong protes Zathrian, "Inara benar. Kita harus pulang sebelum terlambat."
"Ini kan idemu, Janae."
"Dan aku sadar bahwa itu bodoh. Maaf aku membuat keputusan tolol," Janae menarik tangan Inara dan mulai berjalan, "Ayo."
Namun semua terlambat. Angin tetiba berhenti. Hening sebelum badai melanda. Tidak ada suara apapun selain bisikan samar yang datang dari dalam kabut. Keheningan itu begitu memekakkan. Api di tangan Zathrian seketika padam. Tak peduli seberapa kuat ia menjentikkan jari, tidak ada api yang muncul.
Dengan cepat, Zathrian memegang tangan Inara yang lain. Kabut tersebut melingkar dan mengitari tubuh mereka layaknya ular di batang pohon. Entah berapa lama mereka hanya terdiam. Terlalu syok untuk bicara, terlalu mati rasa untuk berjalan. Saat itulah segalanya menjadi berantakan.
Entah darimana, datanglah sebuah angin mirip topan yang menyibak kabut gelap. Mereka bertiga mencoba tetap berdiri tetapi tidak bisa. Pegangan Janae merenggang dan ia berteriak saat kabut mencoba menariknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FRAGMENTS
Short StoryTidak ada orang yang mengenal seseorang seutuhnya. Mereka hanya memperlihatkan fragmen-pecahan, setitik dari keseluruhan hidup yang dijalani. Inilah sebagian dari pecahan-pecahan itu. These are not love stories. These are stories about people. Some...