Rinai hujan membasahi seisi kota malam ini. Seakan mengetahui isi hati pemuda yang saat ini tenggelam dalam pikirannya sendiri. Mengingat setiap kejadian hari ini membuat hatinya lelah.
Netra hitamnya melumat habis pemandangan di sepanjang jalan menuju mansion. Merekam semua hal menyenangkan mencoba mengalihkan fokusnya dari semua hal yang membuat dirinya tak tenang.
Hingga fokusnya teralihkan oleh seorang pemuda yang berjalan di trotoar ditengah hujan tanpa payung atau pelindung lainnya.
"Berhenti, " Ia menurunkan kaca mobilnya untuk melihat lebih jelas pemuda yang tak asing baginya.
"Tuan muda ada apa?" Tanya Andi kepada Kei yang tiba-tiba menyuruhnya berhenti.
"Pak Andi, apa ada payung?"
"Ada, tuan muda. Tapi, untuk apa? "
"Berikan padaku" Perintahnya tanpa mengalihkan pandangannya dari pemuda itu.
"Ini, tuan muda"
Kei mengambil payung berwarna hitam itu lalu keluar dari mobil, berjalan menghampiri pemuda yang saat ini sudah basah kuyup.
"Ngga bawa payung atau payung lo diambil kakak kelas itu? " Matanya menelisik penampilan pemuda didepannya yang masih menundukkan kepala.
.
.
.
"Rei, Reinan, kau tertidur lagi?" Ia mendengus, kesal karena melihat wajah temannya yang sedang tidur dan mengabaikannya.
"Rei, bangun, kalo mau tidur pulang saja" Ia menggoyang-goyangkan tubuh kecil itu, masih mencoba membangunkan temannya.
Rei membuka matanya, menatap wajah anak laki-laki yang kini tersenyum menatapnya.
"Kamu siapa?" Tanya Reinan lagi.
"Kamu tidak mengingatkan ku? Aku... "
"Bimo, tuan muda."
"Bimo? " Reinan menatap Bimo yang kini sedang menekan bel, memanggil dokter untuk memeriksanya.
'Kemana perginya anak laki-laki itu? Apa tadi aku bermimpi?' ucapnya dalam hati
Tak lama, beberapa dokter masuk kedalam ruangan dan mulai memeriksa keadaan Rei.
.
.
.
Zulfan mengangkat kepalanya, menatap kearah pemilik sepatu yang tiba-tiba berada di depannya
"Ngga bawa payung atau payung lo diambil kakak kelas itu?" Tanyanya dengan tatapan menyelidik.
"Kamu, kenapa bisa ada disini?" Ia bingung, kenapa calon teman seangkatannya yang bahkan tak ia ketahui namanya ini tiba-tiba bertanya seperti itu.
"Lo nggak apa-apa? Kakak kelas tadi nggak mukul atau bully lo kan?" Keinan mendekat, mencoba membagi payungnya pada yang lebih kecil.
"Maksud kamu kak Logi?"
"Itu kali, soalnya gue nggak kenal. Jadi, lo di bully nggak sama dia?" Tanya Keinan lagi.
"Enggak kok"
"Oh, syukurlah, kalo gitu ni pake aja payungnya anggep aja permintaan maaf gue karena nabrak lo tadi" Ia menyerahkan payungnya lalu berlari masuk kembali ke mobilnya.
"Tu-tunggu, " Ucap zulfan terpotong dikarenakan Keinan yang sudah pergi dengan mobilnya.
"Makasih, Keinan" Ia mengetahuinya setelah melihat nametag milik remaja itu.
.
.
.
Tuan muda keinan
Tuan muda Rei sudah sadar..
.
.
Setelah mengirim pesan kepada tuan mudanya, Bimo mendekati dokter yang tadi memeriksa Reinan.
"Bagaimana dokter, apa tuan muda Rei baik-baik saja?"
"Dia baik-baik saja, Bimo"
"Tapi, kenapa tadi dia tidak mengenali saya, dokter?" Bimo melihat kearah Reinan yang terdiam dengan tatapan yang kosong menatap keluar jendela.
"Untuk hal itu, kau juga taukan kenapa tuan muda seperti itu. Apa kau lupa Bimo? Kejadian 10 tahun yang lalu? Tidak usah terlalu khawatir, tuan muda baik-baik saja. Dia hanya kelelahan. Besok tuan muda sudah boleh pulang. Saya pergi dulu" Dokter itu pun pergi meninggalkan ruangan Reinan.
'Aku hanya kelelahan? Aku baik-baik saja? Kenapa tidak mati saja sekalian? Menyebalkan.'
.
.
.
Drrrttttt...
Keinan membuka ponselnya, melihat pesan yang dikirim oleh Bimo,
.
.
.
Pak Bimo
Tuan muda Rei sudah sadar.
.
.
"Dia sudah sadar? "
Keinan menutup ponselnya memasukkan kedalam sakunya dan kembali mengalihkan atensinya pada sang papa yang kini sedang menyantap steak di depannya.
"Iya" Keinan kini menatap sang mama yang hanya fokus pada makanan di depannya.
"Mama tidak khawatir?"
" Keinan Atma Purnama, makan saja makananmu" Suara bariton sang papa terdengar begitu dingin. Suasana ruang makan yang biasanya cukup hangat kini benar-benar terasa dingin.
Keinan menatap sang mama yang tak sekalipun fokusnya teralih dari steak buatan bu Ina, kepala pelayan di mansion mereka. Entah apa yang terjadi? Tapi keinan lelah dengan semua ini.
"Mama, Reinan sakit lagi" Gumamnya, sepasang netra berwarna hitam pekat itu melumat habis wajah wanita paruh baya yang melahirkannya, mengamati setiap perubahan ekpresi yang dikeluarkan oleh sang mama. Adakah ekspresi khawatir tersirat diwajah wanita yang ia hormati itu? Ataukah tidak ada?
"Mama... "
"Sudah cukup Keinan, papa bilang habiskan saja makanan mu" Melviano lantas meletakkan sendok dan pisaunya lalu pergi dari ruang makan diikuti sang istri meninggalkan Keinan sendirian di ruang makan yang sangat besar itu.
"Baiklah"
To be Countinued
.
.
.
Buat readers perfect twins makasih banget selama ini masih nunggu cerita ini di up. Dan aku mau ngucapin maaf karena aku nge hilang lama banget, jujur pertengahan tahun 2022 adalah mimpi buruk bagiku, aku SO dari kuliah karena sakit dan dalam tahap penyembuhan, dan sekarang lumayan udah baikan.
Dan semoga kalian suka ya ceritanya. Serius, ini tu cerita pertama aku dengan genre thriller jadi ya rada pusing juga buatnya. Aku mau buat plot twist yang benar-benar buat kalian hah hoh hah hoh gitu jadi aku biasanya lanjut nulis cerita ini tu harus baca ulang ceritanya.
Dan maaf kalo alur cerita ini lambat atau bahkan nanti bisa tiba-tiba loncat jadi seminggu kemudian dan lain sebagainya. Aku harap kalian tetap dukung cerita perfect twins ini ya.
Oke, keknya segitu aja bacot dari aku, oh ya jan lupa tetep vote treasure ya dan kemarin treasure menang best group di GDA kan, wah seneng banget kan teume punya bujang-bujang kek mereka😊
Jadi, jan lupa vote and komennya, jujur komen dari kalian buat aku lebih semangat nulis ceritanya, sekian Terima hajeongwoo🤭
Love, mong-mong19