1 - Mandat Agung

16 0 1
                                    

Biara Buddha di Gunung Zheng.

Pohon-pohon bambu menjulang di sepanjang jalan. Angin semilir dan ketenangan di dalam hutan membuatku sedikit mengantuk.

Pengawal Lu: Nona, apakah Anda hendak beristirahat dulu?

Aku menggeleng.

Youran: Biara Mutiara sudah sangat dekat. Kita juga tidak tahu apakah para pembunuh akan menyerang lagi atau tidak. Kita tidak boleh berhenti sekarang.

Pengawal Lu: Baik. Kalau begitu, harap Nona menjaga diri dengan baik.

Aku melihat Pengawal Lu menatapku dengan tatapan cemas. Aku bisa memaklumi kecemasannya. Perjalanan kami sudah sangat berat. Adalah satu keajaiban kalau aku yang tidak bisa bela diri ini bisa selamat sampai sekarang.

Satu batalion prajurit serta pendekar-pendekar tangguh di dunia persilatan telah gugur di tangan para pembunuh. Susah payah, aku akhirnya berhasil meloloskan diri setelah Pendekar Mei mengadang serangan terakhir untukku.

Pendekar Mei: Pergilah, Youran! Nasib negeri ini bergantung padamu!

Aku nyaris menangis melihat luka-luka Pendekar Mei. Tapi, aku menyusut air mata lalu menguatkan tekad untuk berbalik dan berlari di belakang jalan yang dibuka Pengawal Lu untukku.

Aku memegang erat-erat buntelan di dadaku, memastikan isinya tetap aman. Setelah yakin sepenuhnya benda yang lebih penting dari nyawaku itu masih ada, aku tersenyum lega.

Pendekar Mei benar. Nasib negara ini bergantung padaku, lebih tepatnya pada dua benda di dalam buntalan di tanganku ini. Inilah dua benda yang diincar para pembunuh sampai saat ini.

Aku minum dari kantong yang diserahkan Pengawal Lu untukku. Kami berjalan lagi melalui hijaunya hutan bambu.

Setelah berjalan sekitar setengah mil, akhirnya kami menemukan gerbang lusuh dengan papan nama bertuliskan Biara Mutiara.

Youran: Pengawal Lu, pergilah temui bhiksu kepala dan katakan kepada beliau tentang tujuan kedatangan kita.

Pengawal Lu: Baik, Nona.

Teng! Teng! Teng!

Aku berjalan menghampiri suara lonceng di dalam. Perlahan-lahan, aku melihat seseorang berdiri di depan pintu masuk ruang sembahyang. Baju abu-abu lapuknya tidak mampu menyembunyikan sosoknya yang menonjol.

Jantungku sedikit berdebar saat aku melihatnya. Sudah sekitar empat tahun aku tidak melihat sosoknya. Aku gemetaran, entah karena gemuruh di dalam dada ataukah karena kelelahan yang melanda.

Pemuda berusia dua puluhan itu menjulang tinggi di tengah cahaya matahari yang menyinarinya dengan arogan. Rambut panjangnya berkibar-kibar. Rambut berwarna ungu yang konon berasal dari suku Lan, suku Ibundanya.

Pemuda itu berbalik dan melihatku. Langkah-langkahnya terlihat cepat saat dia maju ke tempatku.

Aku meraih sebuah gulungan dari dalam buntalan lalu menelan ludah dan hendak berseru tapi pemuda itu lebih dulu meraih tanganku untuk menahanku.

Ling Xiao: Jangan berisik, di sini biara Buddha. Meski itu Kaisar sendiri yang datang, dia juga harus menghargai Buddha di sini.

Youran: Tapi ... tapi ....

Ling Xiao: Sudah jam makan siang, aku lapar, nih. Buatkan dulu makan siang untukku, lalu aku akan mendengarkan titah itu, bagaimana?

Debar di dadaku seketika hilang mendengar perkataan itu. Tunggu ... dia menyuruhku memasak?

Laotian! Setelah perjalanan berdarah-darah itu berakhir, aku malah diperintahkan untuk membuat makan siang?

Berandalan ini! Ling Xiao!

Rintik Hujan Guntur Menyibak Takdir (MLQC Shaw Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang