4 - Sadar dari Maut

7 0 0
                                    

Waktu aku sadar, aku melihat langit-langit sutra di atas kepalaku. Udara terasa hangat, tak lagi dipenuhi angin musim dingin yang menusuk. Awalnya, aku mendengar suara samar-samar lalu suara yang kudengar semakin jelas dan keras.

Dayang 1: .... cepat! Cepat! Apa yang kalian lakukan? Cepat laporkan pada Baginda!

Dayang 2: Tapi Baginda sedang rapat pagi!

Dayang 1: Kau cerewet sekali! Sana pergi! Mana tabib istana? Pengawal!

Ada ribut-ribut apa ini?

Aku merasakan kepalaku pusing. Aku juga merasa sesak dan perih di bagian dada. Sekilas, aku ingat peristiwa saat anak panah pembunuh mengarah kepadaku.

Sulit menjabarkan apakah waktu terasa makin cepat atau melamban. Yang jelas, saat anak panah itu menancap, mulanya tidak terasa apa-apa. Namun, rasa kebas mula-mula berganti dengan rasa sakit luar biasa. Sepertinya jantungku telah tercabik keras dan koyak begitu rupa.

Kini, aku merasakan kerongkonganku kering. Sekujur tubuhku rasanya berdenyut-denyut dan tenaga yang kumiliki mendadak menghilang. Aku mencoba untuk bangkit tapi hanya berhasil duduk di tempat tidur.

Lalu mataku berkunang-kunang. Aku hanya mendengar satu suara yang kukenal.

Pengawal Lu: Nona ... ah, maksud hamba Yang Mulia, apakah Anda tidak apa-apa?

Youran: Pengawal Lu, apa yang terjadi? Di mana ini?

Pengawal Lu: Ini adalah Paviliun Jianghua dalam istana, Yang Mulia. Saat ini, Baginda sedang rapat pagi. Mungkin sebentar lagi, beliau akan datang.

Youran: Tunggu dulu. Baginda? Apakah Pangeran Kelima sudah ...?

Pengawal Lu: Anda benar, Yang Mulia. 11 hari lalu, Baginda telah berhasil merebut takhta. Saat itu, tidak ada perlawanan berarti kecuali dari beberapa pengawal istana yang setia pada Pangeran Ketiga. Para pejabat juga menyambut mandat agung dengan sukarela. Apalagi, mereka telah melihat stempel kerajaan ada di tangan Baginda Yang Mulia.

Youran: Itu terjadi 11 hari lalu?

Pengawal Lu: Benar. Anda mungkin tidak menyadari hal ini karena Anda sudah tak sadarkan diri selama 12 hari. Keadaan Anda sempat benar-benar kritis dan membuat kami cemas setengah mati. Apalagi, anak panahnya menusuk dekat sekali ke jantung. Untungnya, tabib istana berhasil membuat keajaiban.

Youran: Jadi begitu. Lalu bagaimana dengan situasi istana saat ini?

Pengawal Lu: Saat ini sedang terjadi peralihan kekuasaan. Antek-antek Pangeran Ketiga kebanyakan dimutasi ke desa-desa kecil. Pejabat-pejabat kementrian yang jujur dan setia banyak dipromosikan.

Pengawal Lu menundukkan kepala, tampak sedikit malu.

Pengawal Lu: Atas dasar kebaikan Baginda, hamba juga dipromosikan sebagai Kepala Pengawal Istana, Yang Mulia. Lalu Anda---

Pengawal Lu hendak melanjutkan perkataannya, tapi terdengar seruan panjang dari luar pintu.

Kasim: Baginda Kaisar tiba!

Dulu, saat mendengar perkataan ini, dari dalam hatiku muncul perasaan takzim. Bagaimana pun, sosok Kaisar adalah sosok yang dijunjung oleh keluargaku. Ayah dan kakak-kakakku selalu mengisahkan tentang Kaisar yang agung dan membawa beban negara di atas bahunya.

Ayah dan kakak-kakakku adalah pejuang. Orang-orang menyebut mereka pahlawan negara. Dan memang, tidak ada seorang pun ragu mempertaruhkan nyawa demi membela sosok yang dipanggil 'Kaisar'.

Namun, kini, perkataan itu sedikit mendatangkan rasa gamang dalam hatiku. Dalam benakku, Ling Xiao yang kukenal dan sosok kaisar yang akbar terasa bak bumi dan langit, terlalu berbeda. Bukannya aku mengatakan kalau Ling Xiao sosok yang tak terhormat. Aku hanya merasa, dahulu dia bisa kujangkau, tapi kini ... keadaannya sudah berbeda.

Entah kenapa, mengingat ini hatiku terasa sedikit tercubit. Meski demikian, aku merasa sosoknya yang angkuh sungguh pantas mengenakan jubah naga itu. Untuk sesaat, aku berpikir kalau pangeran berandalan itu kini telah dewasa.

Ling Xiao: Ada yang sakit? Apa kau merasa tidak nyaman?

Aku menggeleng.

Ling Xiao: Apa yang kalian lakukan di sini? Apakah Youran sudah minum obat?

Dayang 1: Belum. Obatnya baru matang. Mohon ampun, Baginda!

Ling Xiao: Tch, pergi kalian semua! Sini, berikan obatnya padaku!

Seorang dayang datang membawa nampan berisi mangkok obat. Tangannya gemetaran saat menyodorkan nampan itu ke hadapan Ling Xiao. Dia langsung melesat pergi setelah Ling Xiao mengambil mangkok obat itu.

Ling Xiao berdecak lalu mengamatiku dari atas ke bawah. Sekilas, aku melihat sorot cemas di manik keemasannya.

Ling Xiao: Kau tidak apa-apa?

Aku menggeleng pelan. Ling Xiao mengambil sendok, meniup-niup ramuan obat, lalu mendekatkannya ke mulutku.

Youran: Tidak perlu merepotkan Anda, Yang Mulia. Saya ....

Ling Xiao: Jangan cerewet.

Aku membuka mulut, menurut. Dalam hatiku, terasa pusaran aneh yang membuatku ingin menangis. Air mataku menetes sedikit demi sedikit, lalu menderas seiring sendok demi sendok yang dia suapkan untukku.

Ling Xiao: Jangan menangis.

Ling Xiao mengulurkan tangannya dan mengusap air mataku. Jemarinya terasa panas di pipiku.

Ling Xiao: Kenapa kau menangis?

Entahlah, perasaanku saat ini benar-benar carut marut. Aku tidak dapat menjawab pertanyaan Ling Xiao dengan benar dan akhirnya hanya dapat mengatakan omong kosong.

Youran: Kau pernah bertanya, kenapa aku ingin sekali menjadi penasihat militer, bukan? Seharusnya, aku mengatakan ini sedari dulu.

Ling Xiao membuka mulutnya, tapi tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya beranjak untuk meletakkan mangkok di atas meja lalu kembali ke sisiku.

Ling Xiao: Katakanlah, kenapa kau mau menjadi penasihat miiliter?

Youran: Aku adalah anak perempuan satu-satunya di keluargaku. Ayah dan kakak-kakakku memanjakan aku. Meski mereka semua adalah jenderal gagah perkasa, mereka memperlakukan aku seperti putri. Bahkan sebelum ayah berangkat ke peperangan terakhirnya, dia sempat berpesan pada kakak-kakakku untuk menjagaku.

Ling Xiao terdiam. Tangannya menggenggam tanganku dan dia memandangku dengan sorot lembut.

Ling Xiao: Tidak usah bercerita kalau itu akan membuatmu sedih.

Youran: Saat aku kehilangan ketujuh kakakku, aku benar-benar merasa kosong. Ibu juga sakit dan meninggal tak lama kemudian. Saat kau mengajakku melihat para prajurit latihan bela diri di barak militer, saat itulah, aku bertekad ingin mengurangi rasa sakit akibat peperangan.

Ling Xiao: Dan kau sudah melakukan banyak hal untukku, termasuk menyelinap ke Kota Ding lalu membuat peta pertahanan mereka dan menyeludupkannya keluar.

Aku tersenyum tipis. Mengingat hal itu hanya membuatku malu. Aku mengingat ketika Ling Xiao menaikkan aku ke punggungnya lalu mengobati luka-luka akibat dipukuli di penjara.

Youran: Aku hanya berharap, di masa pemerintahanmu, tanah air kita akan damai dan makmur. Aku berharap kau menjadi kaisar yang baik dan murah hati.

Youran: Aku ... percaya padamu.

Ling Xiao: Kau bisa memastikan itu sendiri. Bukankah kau punya janji padaku?

Aku seketika menarik tanganku. Ling Xiao tidak melakukan apapun untuk meresponsnya. Dia hanya menatapku dengan sorot muram.

Ling Xiao: Kau tahu, dinobatkan tanpa kehadiran permaisuri itu sungguh janggal. Para menteri mendesakku untuk segera mengumumkan nama permaisuri. Namun, aku beralasan harus fokus pada pemerintahan masa transisi dulu.

Youran: ....

Ling Xiao: Sebenarnya, aku hanya menunggumu sembuh.

Dia mendekatkan wajahnya padaku. Kata-katanya setelah itu terdengar dingin dan terluka.

Ling Xiao: Aku tidak ingin berada di singgasana itu sendirian seumur hidupku.

Rintik Hujan Guntur Menyibak Takdir (MLQC Shaw Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang