1 | Forgive Me, Please! - B

835 174 27
                                    

Aleta bergegas turun dari tangga menuju dapur untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Ada ibunya di dapur, membuat Aleta mengerutkan keningnya. Tumben? Ibunya ini bukan tipe wanita yang ada di dapur, Ibunya lebih suka melaksanakan kegiatan di luar rumah ketimbang di dapur, tetapi hari ini ... terlihat berbeda.

"Mama ngapain di sini?"

Hanggini—Ibunya menoleh dan tersenyum pada Aleta, "Ini, ada kiriman. Bibi lagi ke super market, nggak ada yang siapin, dari pada basi, mending Mama yang siapin," katanya.

Menganggukkan kepala, Aleta menengok ke arah meja dapur, "Ketupat? Sama apa itu? opor?"

"Sakha kirim ini buat kamu."

"Apa?" tanya Aleta.

Ibunya tertawa, "Kamu ngapain anak orang sih nak, sampe kirim-kirim ketupat sama opor ke rumah kita. Emangnya ini lebaran ya? Maaf-maafan gih sana," kata Hanggini.

Oh, Tuhan. Sakha. Apa lagi ini?

Dari semua makanan yang ada, dia mengirimkan ketupat dan opor? Serius?

"Kalian marahan ya?" tanya Hanggini.

Aleta mengerucutkan bibirnya, jawaban singkat untuk pertanyaan yang Ibunya ajukan kepadanya barusan.

"Kenapa?"

Well, kata "kenapa" pada emosi yang tertahan memang seperti perintah mutlak untuk meluapkan semuanya. Aleta menatap Ibunya dan mulai bersungut-sungut menjelaskan semuanya, "Dia sendiri yang bilang kalau Aleta harus nungguin dia pulang kerja supaya Aleta bisa ke Bandung bareng dia. Dia bilang mau ikut karena sekalian ketemu Mama, dan dia bilang pokoknya Aleta nggak boleh pulang kalau nggak bareng Dia. Tapi mobilnya mogok, Aleta udah bilang pake mobil Leta aja, dia nggak mau Ma, katanya cara bawa mobil kita beda, takut malah merusak mobil Leta. Apa coba? Emang dia bawanya dibanting-banting? Kan enggak! Heran. Perasaan Leta bawa mobil dia biasa aja, dia juga izinin, kenapa dia nggak mau bawa mobil Leta? Apa karena mobilnya lebih jelek ya dari mobil dia?"

"Hus, kok jauh banget," sahut Hanggini.

Aleta menghela napasnya, "Yah abis. Emang Sakha tuh aneh banget. Semuanya aneh, Leta suka heran sendiri. Itu juga Ma, setelah perdebatan mobil, Leta bilang kalau dia mau ikut, ya udah kita naik kereta atau travel aja, tapi dia nggak mau! Travel udah nggak dapet karena penuh semua, hari jum'at soalnya. Sementara kereta adanya malem, tapi itu juga kemaleman, jadi dia kasih opsi nunggu mobil dia selesai dan pergi hari Sabtu siang. Udah gila kali dia. Yang mau pulang juga Aleta, kenapa harus terserah dia?!" gerutunya.

Ibunya mengangguk-anggukkan kepala, mencoba memahami posisi Aleta juga Sakha, sementara Aleta masih kesal dengan perdebatannya bersama Sakha kemarin.

"Makanya, Aleta nekat pulang duluan tanpa ngabarin dia. Bodo amat ditinggalin sendiri!" gerutunya.

"Ya Ampun," kata Hanggini, "Pantes, Tante Marsha tanya Mama, katanya kamu ada di rumah nggak, Mama jawab ada, ternyata kamu kabur ya dari anaknya."

Yah, Ibunya Sakha dan Ibu Aleta adalah teman, mereka berdua juga dikenalkan oleh Ibu  masing-masing, makanya bisa berpacaran seperti sekarang, jadi wajar saja kalau kabar-kabar seperti ini cepat sampainya. Keduanya pasti mengadu pada Ibu mereka.

"Bodo. Biar tahu rasa sekalian," kata Aleta.

Hanggini tersenyum, "Tapi Mama setuju sih sama Sakha," ucap Ibunya, mengundang tatapan tak menyangka dari Aleta kepadanya.

Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang