Vote sebelum baca 🌟
Ophelia memejamkan matanya. Menikmati perhatian yang diberikan Erlan padanya.
Erlan tengah mengobati luka di sudut bibir gadis cantik itu. Begitu lembut dan penuh kehati-hatian seolah takut Ophelia semakin terluka.
Sesekali, wajah tampan Erlan tampak meringis melihat alis Ophelia mengernyit disertai oleh permintaan maaf.
Tingkah yang sangat lucu dan menghibur Ophelia.
"Selesai."
Ophelia refleks membuka matanya kala Erlan mengecup sudut bibirnya.
"Kenapa pangeran mencium bibirku? Siapa yang mengajari pangeran melakukan hal itu?" Tanyanya pelan tapi mengintimidasi.
Erlan menyeka lega keringat di keningnya tanpa merasa terintimidasi sedikit pun karena baginya, Ophelia penyelamatnya.
Di dalam dirinya sudah tertanam prinsip bahwa Ophelia tak akan pernah menyakitinya dalam situasi dan kondisi apapun.
"Aku mengetahuinya dari dongeng. Katanya, luka akan lebih cepat sembuh jika diobati dan diakhiri dengan ciuman." Jawabnya penuh semangat sedangkan sorot matanya seakan minta dipuji.
Ophelia menghela nafas lega mendengar jawaban polos sang pangeran.
Pikiran buruk sempat muncul di otaknya. Berpikir orang dewasa lah yang mengotori pikiran pangeran kecilnya.
Gadis itu mengusap kepala Erlan. "Mulai sekarang jangan pernah mencium orang sembarangan, pangeran. Pangeran hanya boleh mencium orang yang pangeran sukai." Nasihatnya. Diangguki patuh oleh Erlan.
Ophelia pikir, Erlan akan mengerti ucapannya. Namun, rupanya ... Erlan masih tak paham. Erlan kembali menciumnya untuk kedua kalinya.
"Pangeran tidak boleh menciumku." Nasihatnya lagi.
Erlan memiringkan kepalanya sembari menatap lugu Ophelia. "Kata Lia, aku boleh mencium orang yang aku sukai. Aku suka Lia." Mengerjap polos hingga membuat Ophelia menepuk jidatnya.
"Pangeran hanya boleh mencium orang yang pangeran sukai dengan syarat orang itu juga menyukai pangeran. Ciuman hanya bisa terjadi jika kedua belah pihak sama-sama suka." Jelasnya lagi.
Erlan mengenggam tangan Ophelia gusar. "Apakah Lia juga menyukaiku?"
Ophelia menganga. Kehabisan kata-kata menghadapi seorang anak kecil nan lugu.
"Apakah Lia membenciku?" Tanya Erlan sedih seraya menjauhkan dirinya dari Ophelia. Pria kecil itu berjongkok sambil menyembunyikan wajahnya di lutut. Bahunya tampak bergetar samar. Disusul oleh isakan pelan yang membuat Ophelia panik.
"Aku juga menyukai pangeran! Mana mungkin aku membenci pangeran!" Serunya panik.
Erlan mendongak. Menatap Ophelia bersimbah air mata. "Benarkah?" Cicitnya ragu.
Ophelia ikut berjongkok dan mengusap air mata Erlan. "Iya, pangeran. Aku menyukai pangeran. Kalau aku tidak menyukai pangeran, mana mungkin aku nekat memohon pada yang mulia kaisar supaya diberi kesempatan menjadi dayang pribadi pangeran." Hiburnya.
Erlan kembali tersenyum senang serta menghambur ke dalam pelukan Ophelia. "Aku juga suka Lia. Sampai kapan pun akan tetap suka Lia."
Ophelia terkekeh pelan mendengar ucapan penuh semangat pangeran kecil di dalam dekapannya.
"Baiklah, baiklah. Sekarang waktunya pangeran untuk makan siang. Aku akan segera menyiapkan makanannya. Pangeran bisa menunggu sambil membaca buku."
Erlan menggeleng pelan. "Jangan memasak. Lia sedang sakit dan butuh banyak istirahat." Ujarnya protektif.
"Lalu, siapa yang akan memasak untuk pangeran jika bukan aku yang memasakkannya?" Sahut Ophelia.
Selama ini, Erlan tidak pernah dimasakkan oleh pelayan.
Erlan hanya mendapatkan bekas makanan dari penghuni istana.
Erlan selalu makan-makanan dingin, keras, dan tidak enak.
Tidak ada yang mempedulikan Erlan karena dianggap sebagai pangeran terkutuk dan aib keluarga kerajaan.
Lebih mirisnya lagi, keluarga Erlan juga tidak peduli pada pertumbuhan Erlan. Mereka membiarkan Erlan tumbuh sendirian tanpa berusaha peduli sedikit pun.
Mengingat hal itu, Ophelia ingin menghancurkan semua orang yang telah menyakiti pria sekecil Erlan.
"Aku belum lapar, Lia. Jadi, Lia jangan memasak dulu." Tutur Erlan membuyarkan lamunan Ophelia.
"Jangan berbohong pangeran. Perut pangeran sudah berbunyi. Bunyinya sangat keras dan mungkin saja bisa di dengar oleh orang di luar." Ophelia menempelkan tangannya di perut Erlan seraya tertawa geli sedangkan Erlan tertunduk malu. Pangeran kecil itu bahkan menyembunyikan wajahnya di bahu Ophelia.
"Aku bisa menahannya, Lia." Lirihnya.
"Pangeranku memang paling manis dan perhatian, tapi memasak merupakan hal kecil bagiku, pangeran." Gemasnya.
Erlan sedikit memberi jarak di antara mereka. "Baiklah. Aku ingin makan omelet, Lia. Buatkan juga untuk Lia supaya kita bisa makan bersama."
"Oke, pangeran."
Erlan tersenyum melihat semangat menggebu-gebu Ophelia. "Kenapa Lia sangat baik kepadaku?" Tanyanya tanpa sadar.
Ophelia mencubit kedua belah pipi Erlan gemas. "Karena aku menyukai dan menyayangi pangeran."
Erlan tersenyum lagi dan tanpa disangka-sangka mengecup pipi Ophelia. "Terima kasih, Lia."
Ophelia menghela nafas panjang. "Jangan menciumku, pangeran. Itu tidak pantas untuk dilihat."
"Bukan kah Lia juga menyukaiku?" Tanya Erlan polos sedangkan Ophelia kehabisan kesabarannya dalam menghadapi anak kecil. Ingin berteriak tapi masih ingat rencana. Akhirnya, Ophelia pun memasang senyuman profesionalnya.
"Pangeran boleh mencium orang yang pangeran sukai dan juga menyukai pangeran, terkecuali diriku karena aku akan dihukum mati jika pangeran menciumku. Apakah pangeran ingin aku dihukum mati?"
Erlan menggeleng takut sedangkan Ophelia kembali tersenyum profesional. "Sekarang, pangeran mengerti bukan kenapa tidak boleh menciumku?"
Bersambung...
14/1/23
KAMU SEDANG MEMBACA
I Raised A Protagonist
FantasyHal apa lagi yang lebih gila daripada masuk ke dalam novel sebagai figuran dan menjadi janda di usia 17 tahun?! Ophelia rasa tidak akan ada! Hanya dirinya lah yang mengalami hal gila tersebut! Menyebalkan sekaligus mengenaskan. Namun, bukan Ophelia...