Part 8

3.4K 837 108
                                    

Vote sebelum baca 🌟

Matahari telah terbenam di ufuk barat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matahari telah terbenam di ufuk barat. Burung-burung berterbangan, kembali ke sangkarnya. Suara ayunan pedang terdengar memecah kesunyian.

Erlan tetap lah semangat mengayunkan pedangnya meskipun hari semakin gelap.

Ambisi yang begitu besar membuatnya mengabaikan keadaan sekitar karena di dalam otaknya hanya ada tujuan menjadi pria hebat supaya bisa mengalahkan Raphael.

Sementara itu, Raphael sebagai guru berpedang Erlan meringis pelan melihat semangat membara pangeran kecil itu. Ia senang melihat Erlan antusias dalam belajar tapi di lain sisi, ia merasa sebagai guru jahat yang melatih Erlan dengan keras.

Raphael berdehem pelan. Berusaha menarik perhatian Erlan. "Saatnya istirahat, pangeran."

Erlan melirik Raphael sekilas, lalu kembali melanjutkan latihannya. "Sebentar lagi."

Raphael menggelengkan kepala tak habis pikir. "Oh ayolah, pangeran. Berhentilah mengayunkan pedang. Masih ada hari esok untuk mempelajarinya lagi."

"Kau tidak ingin ku kalahkan? Makanya menyuruhku berhenti latihan?" Sarkas Erlan.

Raphael tertawa pelan. "Bukan begitu maksud saya, pangeran. Saya menyuruh pangeran beristirahat supaya tubuh pangeran tidak jatuh sakit akibat terlampau kelelahan. Jika pangeran sakit, pangeran juga 'kan yang rugi nantinya? Pangeran tidak bisa latihan sedangkan nona akan mengkhawatirkan keadaan pangeran."

Mendengar nama Ophelia disebut, baru lah Erlan berhenti mengayunkan pedangnya. Lantas, mengusap keringat di keningnya.

"Latihan dilanjutkan jam delapan besok. Aku akan menunggu guru di sini." Papar Erlan sedangkan Raphael tersenyum mendengarnya.

"Baik, pangeran."

Erlan meninggalkan area latihan dengan perasaan tidak rela. Hal itu sungguh membuat Raphael kagum bukan main.

Baru kali ini dia bertemu orang segigih Erlan. Terus berlatih tanpa kenal lelah.

Ia seakan-akan melihat bayangan dirinya sewaktu kecil di dalam diri Erlan.

"Raphael." Panggil Erlan membuyarkan lamunan Raphael.

"Iya, pangeran?"

Erlan menatap Raphael lurus. "Lia milikku."

Raphael tertegun mendengarnya.

Sudah dua kali Erlan mengatakan hal yang sama padanya tapi ia masih saja terkejut.

"Pangeran salah. Sebelum ada surat pernikahan yang sah, Nona bukan milik pangeran. Nona masih milik dirinya sendiri." Kali ini Raphael dapat menyahut perkataan mengejutkan Erlan.

"Meskipun kami belum menikah, Lia sudah menjadi milikku. Kau tidak boleh merebutnya dariku." Ungkap Erlan kesal.

"Memangnya nona ingin menikah dengan pangeran?"

Erlan mengepalkan tangan kesal mendengar pertanyaan menohok Raphael.

"Di dalam penglihatan saya, nona hanya menganggap pangeran sebatas adik saja. Sebagai guru pangeran, saya sarankan untuk tidak melewati batas. Apalagi sampai memaksakan kehendak kepada nona. Jangan terlalu terobsesi. Nona mempunyai kehidupannya sendiri."

Wajah Erlan merah padam. Kesal sekaligus marah mendengar perkataan Raphael. "Kau tidak tahu apapun!" Melarikan diri dari sana karena perasaannya bercampur aduk.

Perkataan Raphael terus terngiang-ngiang di kepalanya. Tentang Ophelia yang hanya menganggapnya adik.

Yah, Erlan sendiri pun merasakan pandangan Ophelia padanya. Ophelia memperlakukannya seperti anak kecil. Tidak pernah menganggapnya sebagai pria satu kali pun.

Namun, Erlan tak akan menyerah. Erlan akan terus berjuang mendapatkan hati Ophelia.

Erlan akan tumbuh dewasa, kuat, dan gagah supaya Ophelia menganggapnya sebagai pria.

Erlan akan tumbuh besar, melampaui Ophelia. Ia tidak akan membiarkan Ophelia memandangnya sebagai anak kecil lagi.

"Kenapa baru kembali, pangeran?"

Erlan tercengang melihat Ophelia berada di dalam kamarnya.

"Kenapa Lia berada di sini?" Tanyanya balik.

"Aku menunggu pangeran kembali."

Erlan berlari, memeluk Ophelia erat. "Lia.." panggilnya manja. Tingkahnya membuat gadis cantik itu mengernyit heran.

"Kenapa, pangeran? Apa yang terjadi?"

"Lia menganggapku apa?" Tanya Erlan langsung.

Ophelia mengerjap heran. "Hah?"

"Lia menganggapku apa?" Tanyanya sekali lagi.

"Ah, tentu saja aku menganggapmu sebagai pangeran kekaisaran sekaligus adik kecil yang harus kujaga dan kulindungi." Tutur Ophelia setelah merangkai kata-kata yang pas di dalam hatinya supaya Erlan terharu mendengar jawabannya.

Namun, bukannya melihat Erlan terharu, Ophelia malah disuguhi dengan wajah kesal Erlan.

"Kenapa pangeran terlihat kesal?" Tanya gadis itu polos.

Bersambung...

17/1/23

firza532

I Raised A ProtagonistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang