Safawi duduk bersila, matanya terpejam. Sapu Jagat masih terbujur kaku bagai mayat. Namun, matanya masih terus berair.
Pak Mat dan Kasumi baru saja menyelesaikan jamaah salat subuh. Keduanya tampak termenung di depan mushala, mereka jelas sangat berduka, sorot mata mereka sayu penuh kekhawatiran. Kuning belum benar-benar pulih, sekarang Sapu Jagat terbaring bagai mayat di kamarnya.
Pagi itu sangat sepi, burung-burung yang biasanya terdengar riuh juga pergi entah kemana. Angin yang berhembus terasa beku, gemerisik dedaunan juga terdengar singlu di telinga Pak Mat dan Kasumi. Sebagian daun kering berjatuhan tertiup angin. Halaman rumah yang biasanya bersih, kini penuh dengan daun kering yang berserakan karena dua hari tidak disapu. "Biasanya Sapu Jagat yang membersihkan," Kasumi tertegun, tangisnya tiba-tiba pecah, dia meraung-raung bagai anak kecil. Pak Mat yang duduk tak jauh darinya, rupanya juga tenggelam dalam tangis, sesenggukan. Bedanya Pak Mat menangis tanpa suara.
Tiba-tiba Kasumi berdiri lalu berlari masuk rumah, Pak Mat tergesa menyusulnya. Rupanya, Kasumi menuju kamar Sapu Jagat. Dia terlihat sedang bertengkar dengan Si Putih. Dia memaksa ingin masuk kamar Sapu Jagat. Namun Si Putih melarangnya, macan putih itu selalu mendorong dengan halus tubuh Kasumi saat dia hendak melangkah masuk. Kasumi tetap bersikukuh memaksa ingin masuk. Akhirnya, Si Putih mengaum sekeras-kerasnya, Kasumi menutup telinganya lalu jatuh terduduk. Tangisnya kembali pecah, sesenggukan.
Safawi sebelum memulai semedinya memang telah berpesan, bahwa tidak ada satupun yang boleh masuk kamar Sapu Jagat, apapun yang terjadi. Kamar itu sengaja tidak ditutup supaya siapapun bisa melihat apa yang terjadi di dalam kamar. Tampak Sapu Jagat masih terbaring kaku bagai mayat. Sedang Safawi masih tenggelam dalam semedinya.
Pak Mat datang tergopoh-gopoh, berusaha menenangkan istrinya, "Mbok uwis to Bu, awak dewe wis pasrah marang cak bagus kui to? Lek awakmu koyo ngene mengko malah ngganggu semedine." (Sudahlah Bu, kita sudah pasrah sama cah bagus itu, kan? Kalau kamu seperti ini, kamu akan mengganggu semedinya, red).
Pak Mat membimbing istrinya untuk berdiri. Namun, kedua orang tua itu tiba-tiba dikagetkan oleh kedatangan Kuning. Rupanya Kuning terbangun oleh auman Si Putih lalu berusaha mencari tau apa yang terjadi. Kuning tampak terhuyung lalu,
BRRUUKKK!
Dia jatuh tersungkur. Pak Mat dan Kasumi tidak sempat meraih tubuhnya, karena kejadiannya begitu cepat. Buru-buru Pak Mat menolong Kuning lalu membopong dan membaringkannya ke kamarnya.
Pak Mat sangat terkejut, Dia melihat di sudut bibir Kuning ada darah yang mulai mengering. Dia langsung memeriksa urat nadi putrinya, "Ginjele wis kenek" (ginjalnya sudah kenak), gumam Pak Mat. "Pripun tegesipun, Lek Mat?" (Bagaimana maksudnya, Lek Mat?), jawab Kasumi.
"Tegese kiriman kiu, wis ngeneki ginjele anakmu wedok, tur iki wis suwi sangkek ora ketok." (Maksudnya kiriman itu, sudah mengenai ginjal putrimu, dan ini sudah lama cuma nggak kelihatan, red).
"Kulo wau nggih kaget, kuning kok saget ambruk namung amargi suwantenipun putih." (Saya tadi juga kaget, Kuning kok bisa limbung hanya karena suaranya Putih, red).
Pak Mat tidak dapat berkata apa-apa lagi. Dia bergegas meninggalkan kamar putrinya, Kasumi berusaha bertanya tapi sudah tidak digubris. Pak Mat bergegas ke halaman belakang, lalu lurus ke kebun belakang. Menuju kebun tanaman obat, dia memang mempunyai sebuah kebun di belakang rumah yang khusus ditanami tanaman obat.
Pak Mad mengelilingi kebun, memeriksa beberapa pohon tapi setiap melihat pohon yang diperiksanya, wajah Pak Mat terlihat kecewa. Dia terpaku sejenak, setelah itu, wajahnya terlihat sumringah. Lalu memejamkan mata beberapa saat, tangan kanannya ditaruh di depan dada. Dan entah dari mana, tiba-tiba di depan Pak Mat telah ada seekor ular yang sangat besar. Di kepalanya ada mahkota berbentuk seperti cengger kijang, ular itu bersisik emas. Pak Mat membuka mata, tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
KABEL GETIH
Horror"Kamu tidak butuh apa apa, kamu hanya perlu menegakkan yang lima waktu dan tidak melanggar yang lima"