SANTET TUTUP BUMI

375 26 9
                                    

"Nduk, istirahatlah! Kalau kau masih ingin bersemedi, bersemedilah di kamarmu.

Sapu Jagat tampak terkejut melihat Pak Mat dan Kasumi sudah berada bersamanya. Bukankah tadi dia mengunci kamar kakaknya? Ibunya seperti membaca pikiran anaknya. Dan menunjukkan kunci cadangan sambil tersenyum. Sapu Jagat tersipu malu, setelah berbasa-basi, dia berpamitan, "Jika bapak dan ibu mengijinkan, malam ini saya ingin bersemedi di Puncak Raung." Bapak ibunya tampak terkejut tapi kemudian Pak Mat menjawab, "Bawalah Si Putih bersamamu."

"Inggih Pak, Bu. Sendiko dawuh." Lalu Sapu Jagat undur diri.

Si Putih adalah macan putih, makhluk tak kasat mata yang sudah tinggal bersama keluarga Kasumi sejak zaman Mbah Surodiko.

Di halaman rumah, Sapu Jagat berbisik di telinga Si Putih. Macan putih itu merunduk lalu Sapu Jagat duduk di atas punggungnya. Setelahnya, Si Putih berlari menembus gelapnya malam menuju utara, menuju Raung. Si Putih berlari bagai terbang, rambut Sapu Jagat yang digerai tertiup angin. Rambut panjangnya sudah sampai tumit itu tertiup angin karena kecepatan lari Si Putih. Sebuah pemandangan yang langka. Purnama yang sepurna malam itu seolah memang mendukung semua keindahan yang tercipta.

Raung semakin dekat, kegagahannya adalah pemandangan yang mengerikan bagi manusia biasa. Apalagi perempuan, tapi tidak bagi Sapu Jagat. Dia selalu rindu dengan keindahan dan misterinya. Dan purnama juga satu dari kerinduannya, purnama bersama Raung dan Si putih.

******** 

Kuning masih tertidur pulas, Pak Mat duduk di tepi ranjang, memegang telapak tangannya hendak memeriksa denyut nadinya, Pak Mat sangat terkejut, "Kabel Getih?!" suaranya nyaris berbisik tapi cukup jelas terdengar di telinga Kasumi. Kasumi langsung mendekat, ikut mengamati dengan teliti pergelangan tangan Kuning. Kasumi langsung jatuh terduduk, tubuhnya gemetaran.

Pak Mat membantunya untuk berdiri lalu membimbingnya untuk duduk di tepi ranjang. "Tenanglah bune, Sapu Jagat memang masih sangat muda tapi aku yakin dia tau benar apa yang dilakukannya, pasti sudah dengan perhitungan yang matang."

"Kulo mboten lilo, Lek Mat. Oalah Gusti kok yo enek-enek ae. Penjenengan kan ngertos resikonipun pripun." (Saya nggak rela, Lek Mat. Oh Tuhan kok ada-ada saja. Penjenengan kan juga tau resikonya apa? red).

"Namun, jika keduanya sama-sama punya keikhlasan tidak akal terjadi apa-apa, malah bisa saling menjaga."

"Panjenengan kan juga tau sifatnya Sapu Jagat gimana dan Kuning bagaimana? Sapu Jagat yang akan jadi kurban."

"Lho ora oleh muni ngono. Awakmu ki biyunge kudune dungakne, matekhai supoyo loro lorone ngerti panggonane dewe dewe, ngerti empan papan." (Loh ya nggak boleh bicara begitu. Kamu kan ibunya, mestinya mendoakan, bacakan Fatihah agar dua-duanya mengerti posisinya masing-masing!"

Kasumi terdiam, apa yang dikatakan suaminya memang benar. Semua sudah terjadi, apa yang bisa dilakukan hanya nenuwun (berdoa). Namun tetap saja naluri seorang ibu itu lebih halus. Dia tetap sangat khawatir. Dia masih tidak percaya bahwa putrinya berani mengambil resiko sebesar ini untuk kakaknya.

Kasumi mengerti bahwa memasang Kabel Getih berarti berani mengambil resiko terburuk sekalipun, termasuk kematian. Hatinya sangat trenyuh (berduka) memikirkan hal ini. Meski benar mereka bisa saling bertukar tempat, aku sing mangan kowe sing warek. Utawa ngantukmu tak silih. Wis loromu tak pek e. Aku sing poso kowe sing luwe. (Aku yang makan, kamu yang kenyang. Atau bisa saling meminjamkan kantuknya. Atau sakitmu biar aku yang merasakan. Aku yang puasa, kamu yang lapar, red) dan mereka bisa saling tau apapun yang terjadi satu sama lain termasuk perasaan dan hati mereka.

Malam itu berlalu dengan hening, Percakapan antara Pak Mat dan Kasumi hanya sampai disitu, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga subuh menjelang, mereka dikejutkan dengan suara auman Si Putih, keduanya terhenyak lalu menghambur keluar. Mereka melihat Si Putih berdiri di halaman, Sapu Jagat terkulai lemas mangklung di atas punggungnya. Pak Mat berlari mendekat di ikuti Kasumi.

Kasumi pun bertanya, "Ada apa dengan Gustimu, Putih?" Belum sempat Si Putih menjawab Pak Mat menyela, "Anake kui disik diopeni, Engko wae takone!" (Anaknya itu dulu diurus, Nanti saja tanyanya. Red-).

Pak Mat langsung membopong putrinya masuk rumah. Sapu Jagat dibaringkan di kamarnya, langsung di periksa urat nadinya. Wajah Pak Mat sangat khawatir, begitupun Kasumi, "Pripun Lek Mat?" tanya Kasumi kemudian. "Kondisinya sangat lemah." Jawab Pak Mat hampir berbisik.

Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara adzan subuh.

"Kita nggak bisa salat jama'ah. Sekarang pergilah wudhu duluan biar aku yang ngurus Sapu Jagat. Sebelum ke sumur bilang sama Putih untuk menjaga Kuning, red). "Inggih, Lek Mat. Sendiko dawuh." Kasumi langsung beranjak pergi dari tempatnya.

Kasumi tampak gusar saat menemui Si Putih, tapi dia memutuskan untuk tidak menanyakan apa-apa. Lalu dia berbisik di telinga Si Putih. Macan Putih itu tampak mengangguk sebelum akhirnya pergi meninggalkan Kasumi lalu berjalan menuju kamar Kutil.

Kasumi tertegun sejenak. Dia berjalan ke tengah halaman. Dia tampak memejamkan mata menghadap ke rumah. Dia memasang pagar gaib untuk melindungi rumahnya. Setelah selesai dengan pekerjaannya, dia berbalik. Kini, dia bersimpuh membelakangi rumahnya. Dia sedang mateg Aji Gembolo Geni Bolo Sewu. Entah mengapa, perasaannya sangat tidak enak. Dia merasa bahwa keluarganya dalam bahaya. Sesaat kemudian muncul banyak sekali raksasa dengan wajah mengerikan, bolosewu. "Lemah sing tak idak iki lemahe Pengeran, ning aku njaluk tulung jogoen lemah iki soko sopo wae kang duwe niat olo," (tanah yang aku injak ini tanah milik Gusti Allah, tapi aku minta tolong jagalah tanah ini dari siapa saja yang punya niat buruk, red) ucap Kasumi kepada bolo sewu.

Bolo sewu mengangguk hampir bersamaan lalu beranjak dari tempatnya, menjadi pagar hidup. Mereka berbaris mengitari pekarangan kediaman Gusti Pangeran Zimat. Setelah menyelesaikan ritualnya, Kasumi langsung berjalan menuju sumur mengambil air wudhu kemudian menuju mushala untuk menjalankan kewajibannya. Setelah selesai, dia segera menggantikan posisi Pak Mat menjaga Sapu Jagat.

Sebelum Pak Mat meninggalkan kamar Sapu Jagat, Kasumi sempat menanyakan keadaan putrinya. Namun, PaK Mat hanya menggeleng. Kasumi memandangi putrinya masih terbujur dengan tatapan nanar, hatinya carut marut. Semua jadi satu. Bingung, marah, benci kekaligus khawatir.

Sapu Jagat terbujur kaku di pembaringan bagai mayat. Namun dari matanya terus menetes air mata. Wajahnya sangat pucat, begitupun bagian tubuh yang lain juga nampak sangat pucat seperti tidak ada darah yang beredar. Kasumi menegelus-ngelus rambut putrinya sambil terus nyuwuk (meniup ubun ubun dengan doa).

Airmatanya tak terbendung lagi, terus mengalir menganak sungai. Sebelum akhirnya dia memutuskan untuk bersimpuh, memejamkan mata. Kasumi menaruh kedua tanganya menyilang di depan dada dengan kedua telapak tangan bersandar pada lengan bagian atas. Dia ingin tau apa yang terjadi dengan putrinya.

Setelah beberapa saat, Pak Mat juga datang, melihat Kasumi duduk memejamkan mata, Pak Mat ikut bersila lalu memejamkan mata. Kedua tangannya juga diletakkan di depan dada persis seperti yang dilakukan Kasumi. Mereka berdua bersemedi hingga hampir pagi.

_____________________ 

KABEL GETIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang