END

51 5 0
                                    

Hari terus berlalu, mereka terus tenggelam dalam semedi. Mereka tenggelam dalam doa-doa panjang, memohonkan keselamatan untuk Sapu Jagat. Memohon agar hati Sapu Jagat terbangun dari mati suri. Tanpa mereka sadari, tiap hari orang-orang berdatangan duduk bersila atau bersimpuh di belakang mereka. Tiap hari jumlah orang-orang itu makin bertambah, hingga memenuhi seluruh halaman. Entah dari mana mereka berasal, yang pasti orang-orang yang punya niat yang sama, orang-orang yang khawatir terhadap keselamatan Sapu Jagat.

Satu hal, mereka tidak akan memaksa masuk ke halaman atau pekarangan jika mereka tidak dapat menembus benteng pertahanan yang dibangun oleh Kasumi atau mendapat ijin dari Si Putih atau Cengger. Ada sebagian dari mereka yang ternyata juga duduk bersila di luar pagar. Mereka terlihat berzikir, mereka adalah orang-orang yang memiliki ketulusan hati untuk Sapu Jagat. Bukan hanya itu, jika kita mampu "melihat" hal yang tak kasat mata, ternyata dari dunia tak kasat mata pun banyak yang berada disitu, ikut bersila dengan tujuan yang sama.

Hari terus berlalu, hari ini adalah hari ke tujuh. Wajah Sapu Jagat sudah tidak lagi terlihat seperti mayat. Wajah itu tampak seperti orang yang sedang tertidur. Hari demi hari terus berlalu, seperti ada yang terus menjalar dan tumbuh. Dari wajah merambat ke leher, dada, lengan dan terus menjalar ke sekujur tubuh hingga ujung kaki. Seolah-olah ada yang sedang bergerak di dalam sana, terus bekerja memperbaiki setiap organ tubuhnya. Tubuh yang tadinya hanya seperti mayat, sekarang sudah lebih terlihat hidup, wis ono cayane (sudah terlihat seperti orang hidup).

Ya, benar! Hati Sapu Jagat memang telah terbangun dari mati surinya. Dia terbangun karena mendengar orang-orang yang punya ketulusan hati yang terus menangis meraung-raung memanggil-manggil namanya untuk kembali. Dia mendengar tangis kakaknya Kuning, Bapak dan ibu, dan pemuda yang memegang teken Mbah Yai sahabat almarhum kakeknya, Ahmad Husain. Sapu Jagat tau betul tongkat itu milik Mbah Yai karena tenaga murni dari tongkat itu.

Sapu Jagat melihat seorang pemuda yang menjadi marbot sebuah masjid di Bandung, yang kemudian menjadi pembimbing spiritualnya, juga ada disana. Dia sedang ngguguk (menangis sesenggukan tanpa suara) namun hatinya meraung-raung. Dia sedang berdzikir di luar pagar rumahnya. Sapu Jagat bertemu dengannya dalam perjalanan menuju sebuah pesarean.

Sapu Jagat juga melihat teman-temannya yang tidak kasat mata. Teman-teman yang dia temui dalam perjalanan mistisnya. Teman yang tadinya hanya ingin mengganggu dan menggodanya, justru jadi teman karena sifatnya welas asih dan selalu lemah lembut. Bahkan ada teman yang dulunya selalu memusuhinya yang selalu berusaha menggagalkan tiap semedinya, bertekuk lutut dengan ketulusan Sapu Jagat, juga ada disana sedang menangisinya. Sapu Jagat tidak pernah menyangka bahwa si bengal dan angkuh itu bisa menangis.

Sapu Jagat sekarang sudah bisa menggunakan ilmunya, Ilmu Pangrekso Raga. Hatinya bisa memerintah otaknya untuk melakukan tugasnya dengan semestinya. Dan tugas itu dilakukan dengan sangat baik sesuai perintah.

Kuning telah membantu Sapu Jagat memecahkan semen yang mengecor raganya. Dalam semedinya, Kuning bisa menembus pagar yang di pasang oleh pemuda yang membawa teken Mbah Yai. Dan dengan kemarahannya, Kuning telah memukulkan teken itu ke tubuh Sapu Jagat hingga semen yang mengecor tubuhnya hancur berkeping-keping. Dan sekarang, seluruh pembuluh darah yang ditutup juga telah terbuka. Perlahan namun pasti, seluruh organ tubuhnya telah memulihkan dirinya sendiri dengan bantuan otak. Dan hari ini adalah belum genap empat puluh satu hari sebetulnya. Satu jam sebelum hari ke empat puluh satu selesai.

******


Dini hari, 03.00 WIB

Sapu Jagat membuka matanya, Dia terlihat menggerak-gerakkan jari lalu telapak tangannya. Dikepal, dibuka, dikepal, dibuka. Namun, telapak tangannya tidak bisa mengepal secara sempurna, Jari-jari tangannya juga nggak bisa mekar secara sempurna.

KABEL GETIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang