Dini hari, 03.45.
Hampir subuh ketika tiba-tiba terjadi keributan di depan kediaman Gusti Pangeran Zimat, ayahandanya Kuning dan Sapu Jagat.
TOOOKKK!
TOOOKKK!
TOOOKKK!
Pintu rumah digedor dengan keras, membangunkan seisi rumah. Namun saat Gusti Putri Sa'adah, atau lebih dikenal dengan nama Kasumi hendak membuka pintu, Kasumi dicegah Pak Mat. "Pripun to Lek Mat meniko, kulo yakin niku Yanto teng ngajengan sampun sekarat." (Bagaimana to Lek Mat ini, saya yakin itu Yanto di depan sudah sekarat, red.)
Yanto adalah salah satu murid kesayangan dari Pak Mat. Yanto juga sangat dekat dengan Kasumi. Jelas terlihat kekhawatiran yang sangat dalam dari raut wajah Kasumi. Namun, Kasumi tidak berani membantah perintah suaminya. "Bene dhe'e sik duwe wektu telung dhino, ben sinau!" (Biarkan dia masih punya waktu tiga hari, biarkan saja, biar dia paham! Red-), kata Pak Mat dengan nada marah yang hampir meledak. Namun, tiba-tiba Tampah membuka pintu, berlari keluar.
Pak Mat dan Kasumi tak lagi mampu mencegah. Sapu Jagat langsung meletakkan tangan kanannya di depan dada dan memejamkan mata. Kasumi hendak menyusulnya tapi lagi-lagi dicegah oleh Pak Mat, "Biarkan saja! Anakmu perempuanmu sedang memasang pagar gaib untuk Yanto. Rupanya dia tau kalau ada yang mengincar Yanto dan ingin membunuhnya." Mereka hanya memperhatikan Sapu Jagat dari dalam rumah.
Beberapa saat kemudian, Sapu Jagat membuka mata lalu mendekati Yanto yang sedang berdiri dengan kedua lututnya, berbisik di telinga Yanto, "Mas, timpuho sing bener, kencengono atimu marang Gusti. Lek getunmu tenanan, engko bapak lak welas ning sampiyan." (Mas, bersimpuhlah dengan benar, luruskan hatimu dengan yang di Atas. Jika Mas benar-benar menyesal, nanti bapak pasti kasian ke Mas, red). Yang dibisiki langsung ngguguk (menangis sesenggukan).
"Semediyo gak usah wedi, wis tak pasang pager. Rabakal enek sing iso ndemok sampiyan." (Besemedilah dan nggak usah takut, sudah aku pasang pagar gaib. Nggak akan ada yang mampu menyentuhmu, red). Akhirnya, Yanto menuruti apa yang dikatakan Sapu Jagat. Yanto bersimpuh dengan benar lalu memejamkan mata. Kedua tangannya dilipat di depan dada dengan kedua telapak tangan menyentuh lengan sebelah atas. Air matanya masih mengalir deras.
Saat Yanto sudah terlihat tenang dan dapat mengatur nafasnya dengan benar, Sapu Jagat meninggalkannya. Dia kembali masuk ke dalam rumah.
Hampir pagi, suara adzan subuh dari surau sudah terdengar. Kuning yang sedari tadi juga memperhatikan dari dalam rumah, langsung menggelandang Sapu Jagat ke dalam kamar begitu dia masuk rumah. Kuning benar-benar penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan Yanto. "Mas Yanto kenapa to, Nduk?" Dengan rasa khawatir dan penasaran Kuning bertanya. "Mbak sudah adzan subuh, ayo kita ke sumur dulu ambil wudhu, nanti bapak marah kalau kita telat jama'ahnya." Sapu Jagat seperti menghindar dengan mengalihkan topik pembicaraan. Kutil memendam rasa penasarannya, menuruti kata-kata Sapu Jagat. Karena benar, bapak akan sangat marah jika terlambat salat jamaah.
Sehabis jamaah subuh, mereka sibuk dengan tugas masing-masing. Sapu Jagat menyapu halaman, sedang Kuning membersihkan rumah. Kasumi terlihat memasak di dapur menyiapkan sarapan. Sedang Pak Mat, sibuk memberi makan hewan peliharaanya.
Pukul 06.00 pagi, mereka semua sudah siap di meja makan. Kuning dan Sapu Jagat sudah pakai seragam. Selesai sarapan, mereka berpamitan untuk berangkat ke sekolah.
Seperti biasa, mereka ke sekolah dengan jalan kaki. Jalanan masih sepi, Kuning sudah tidak dapat menyimpan rasa penasaran yang sedari dini hari mulek di kepala. Sambil berjalan, Kuning kembali mengungkapkan rasa penasarannya kepada adiknya, "Ayolah Nduk cerita, sebenarnya ada apa dengan Mas Yanto? Kok sampek awakmu harus masang pagar gaib? Kenapa Mas Yanto nggak boleh masuk rumah oleh bapak? Mas Yanto punya salah apa?" Tampah menjawab, "Mas Yanto sebenarnya terluka dalam, tapi bukan hanya itu, ada sesuatu yang lebih mengerikan dari itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KABEL GETIH
Horror"Kamu tidak butuh apa apa, kamu hanya perlu menegakkan yang lima waktu dan tidak melanggar yang lima"