#15

127 19 1
                                    


Langit pagi begitu cerah dengan semburat sinar mentari. Burung-burung berkicau sembari mengepakkan sayap terbang ke atas awan. Waktu yang damai untuk menjalani hari tenang dengan hati senang. Namun sepertinya tidak berlaku bagi laki-laki yang kini tengah menatap kosong meja kerjanya. Pagi yang indah ini dimulai dengan hati yang gundah. Bahkan di akhir pekan ini ia lebih memilih untuk menyibukkan dirinya dengan berkutat pada pekerjaanya. Agar bisa meringankan kegalauannya. Pasalnya beberapa hari ini Suho sedang merajuk pada Irene. Sebab kekasihnya itu lebih memperdulikan sahabat laki-lakinya dibandingkan dirinya yang notabenenya adalah pacarnya. Bagaimana tidak marah? Sehun pria tiang listrik itu benar-benar menyebalkan. Setelah keluar dari rumah sakit sikapnya berubah. Dia lebih protektif pada Irene dan selalu menempel padanya. Membuat dirinya tidak memiliki celah untuk memiliki waktu berduaan dengan pacarnya sendiri. Huh, Suho menghempaskan punggungnya pada kursi kerjanya setelah menghelas nafas berat. Dia sangat kesal lantaran Irene belum juga menghubunginya selama tiga hari ini. Suho juga sudah mengabaikan Irene agar Irene sadar. Tapi hasilnya malah dia yang gusar sedangkan kekasihnya itu masih bisa tertawa di luar sana. Suho mengusak rambutnya kasar akibat frustasi memikirkan Irene. Dia melempar pulpen kesembarang arah untuk meredam kekesalannya. Ingin sekali Suho berteriak saat ini. Dia sudah bertekad tidak akan menghubungi Irene lebih dulu sampai wanita itu sadar dengan kesalahannya. Mulai detik ini Suho tidak akan menurunkan gengsinya lagi.

Di tempat lain Irene tengah sibuk membereskan beberapa barang di kafe-nya. Kini ia sedang bersiap membuang sampah . Dua kantong plastik hitam besar dibawanya dengan mudah. Wanita itu berjalan ke luar kafe menuju tong sampah besar yang terletak di gang buntu samping kafenya sembari bersenandung kecil.

"Selesai." Ucapnya seraya membersihkan kedua tangannya.

Baru saja membalikkan badan, tubuh Irene tiba-tiba membeku di tempat. Lantaran ia melihat sosok pria yang ia kenal sedang berdiri di depan sana. Jantungnya berdebar begitu cepat, matanya memanas seakan ingin menangis. Irene sedang menatap Minho, mantan kekasihnya. Irene memejamkan mata, menarik nafas panjang. Perempuan itu kemudian berjalan dengan cepat menghindari tatapan Minho. Langkahnya terhenti begitu ia melewati pria itu. Minho menahan tangannya.

"Irene..." Panggil Minho dengan suara rendah. Ia menjeda ucapannya."Aku perlu bicara denganmu." Imbuhnya.

Irene belum menanggapi, wanita itu masih terdiam di tempatnya dengan mulut yang terkunci rapat.

"Kumohon sekali saja. Aku perlu bicara." Katanya.

Irene memejamkan matanya meyakinkan dirinya untuk bersikap tenang. Dia berbalik menghadap Minho dengan senyum yang terkesan dipaksakan.

"Katakan saja apa yang ingin kau bicarakan." Ucap Irene.

"Banyak hal. Aku ingin mengatakan banyak hal padamu." Balas Minho.

Tanpa berlama-lama berada di luar Irene mempersilahkan Minho untuk masuk kedalam kafenya. Setidaknya di dalam sini mereka bisa berbicara dengan nyaman.

Irene memilih untuk duduk di meja pojok ruangan. Ia tidak ingin pembicaraannya terdengar oleh orang lain. Yerim membawakan secangkir kopi hangat yang diminta Irene. Setelah menaruh di atas meja, ia berlalu pergi meninggalkan Irene dan Minho di sana. Minho tersenyum kaku suasana begitu canggung baginya. Ia mengambil kopi yang dibuatkan untuknya, menyesapnya perlahan. Pria itu bingung harus memulai pembicaraan dari mana. Sementara wanita di depannya masih dengan setia menunggunya bicara. Irene menjadi jauh lebih cantik saat ini, apa memang dia secantik ini dulunya?. Entahlah kenapa ia bisa berpaling dari wanita di depannya itu.

"Ekhem." Minho berdehan untuk memecah keheningan. Irene hanya menatapnya tanpa beralih. Ia benar-benar menjadi gugup saat ini.

"Irene bagaimana kabarmu?" Harusnya pertanyaan itu ia ucapkan saat pertama bertemu kembali dengan Irene.

Can I have u miss bae?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang