Ratusan pelajar di beberapa daerah di Indonesia minta dispensasi nikah, mayoritas karena hamil dulu.
Sebagai seorang ibu yang baru saja dikaruniai seorang anak perempuan, ketakutan seketika menyergap Zaya ketika selesai membaca satu judul berita teratas itu.
Membayangkan ratusan pelajar yang dimaksud oleh judul berita yang pastinya adalah anak di bawah umur, wanita muda itu jadi teringat kampungnya yang beberapa tahun lalu sempat menjadi pemuncak dalam strata pernikahan dini, bahkan mungkin sampai sekarang.
Wanita itu kira, fenomena yang baru saja ia temukan hanya ada di kampungnya sana. Ternyata di luaran sana ada, dan angkanya tidak main-main.
Ini bukan sebuah kebanggaan, sungguh. Meski sudah menjadi fenomena, hal begini mestinya bukan sebuah kewajaran.
"Paling selain anak di bawah umur, ada juga yang memang belum menikah resmi meski sudah berumur, Yang. Bisa jadi karena nggak ada biaya untuk menikah atau semula terganjal pernikahan dengan pihak lain, makanya menikah secara agama dulu. Dispensasi menikah bukan cuma untuk anak di bawah umur, kalau kamu ingat isi salah satu buku panduan nikah kita dulu. Ya kalau kamu baca juga sih."
Zaya menoleh, saat Afriz berkata barusan. Agak terkejut juga karena suaminya diam-diam mengintip apa yang sedang ia baca. Padahal tadi suaminya itu minta izin memompa ban motor. Tetapi sekarang lelaki itu sudah nyengir di hadapan Zaya, seolah memberitahu keberadaannya.
"Oooh. Kalau gitu, berarti cuma akunya aja yang mikirnya kejauhan, ya, Mas. Baca judulnya doang udah langsung keinget Dusun Matamu."
"Judul berita-berita atau artikel sekarang kan gitu, suka mancing-mancing. Sementara kamu yang tumbuh di lingkungan semacam itu jadi merasa kembali ke tempat itu lagi."
Zaya tersenyum, agak malu juga karena pikirannya mudah sekali dibaca oleh lawan bicaranya. Lalu kedua alisnya saling mendekat ketika suaminya sudah berbalik arah kemudian mencari-cari sesuatu di meja di salah satu sudut kamar. "Cari apa, sih, Mas?"
"Kunci motor."
"Itu di gantungan baju."
Meski sudah diberitahu demikian, Afriz tetap sibuk mencari. Lelaki itu tampak makin kebingungan. "Mana?"
"Itu. Di situ. Kan Mas yang naruh."
Tangan suami Zaya itu meraba-raba ke gantungan baju, tetapi tak lekas menyentuh benda yang dicari. "Mana?"
"Di sebelah kaus, Mas."
Sedangkan Afriz tampak tak paham.
"Itu, tinggal diangkat dulu kausnya. Ya Allah, naruh kunci sendiri, bingung sendiri."
Afriz mengikuti arahan dari Zaya, mengambil kaus biru yang tergantung di depannya persis. Kemudian mengembalikan benda di tangannya itu.
"Ketemu?"
"Belum."
Merasa gemas, akhirnya Zaya bangkit perlahan dari posisinya. Setelah memastikan putrinya masih terlelap, wanita muda itu mendekati sang suami. Lalu ia mengambilkan kunci motor yang sebetulnya ada di hadapan Afriz.
"Ini," ucapnya sambil menyerahkan benda berbandul itu, disertai tekanan untuk melampiaskan rasa gemas.
"Terima kasih, ya, Sayang."
Meski mengangguk, Zaya merasa perlu mengeluarkan uneg-uneg. "Kebiasaan. Harus banget gitu, mesti dicariin dan diambilin. Kunci udah di depan mata, masih nggak ketemu juga."
Afriz hanya nyengir sebagai balasan. "Hehe. Nggak lihat tadi."
Zaya hanya geleng-geleng pelan, berusaha memahami hal sepele yang selalu berulang tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sangkut Paut
General FictionZaya kuliah lagi. Sebagai seorang istri dan ibu baru, tentu ia perlu pandai mengolah waktu. Beruntung, sang suami, Afriz, tak segan-segan mendukung penuh dari segala aspek. Dukungan penuh dari suami dan kesungguhan Zaya mengenyam pendidikan sembari...