Aku menanggapi Ayash yang tiba-tiba mengajakku bicara saat Lila sudah tidur. Di luar kamarku ada sofa panjang untuk menonton TV di lantai dua. Aku duduk diujung kanan sementara Ayash duduk di ujung kiri.
Aku nggak peduli lagi image-ku di matanya sekarang, yang aku rasakan hanya kekesalan dan perasaan marah karena orangtuaku.
"Maaf ya sebelumnya kalau ikut campur."
Aku menoleh ke arahnya dengan tatapan tak suka.
Kalau udah tahu salah harusnya tidak usah ikutan. Aku tebak dia hanya akan menambah kekesalanku saja.
"Kalau cuma mau nambah emosi mending nggak usah dilanjut," kataku tegas.
Namun dia tetap melanjutkan maksudnya mengajakku bicara. "Bude minta kamu besok minta maaf ke Siti."
Mustahil!
Nggak bakal sudi! Ditarik paksa pun aku nggak bakal mau minta maaf. Dia juga salah! Dia yang mulai duluan.
"Nggak usah nyuruh-nyuruh aku minta maaf. Kamu buka siapa-siapa aku. Lagian kamu nggak ada urusannya sama aku atau si badut kampung itu." Aku bicara dengan kasar dan penuh kemarahan.
"Ngapain juga kamu mau suruh Mama capek-capek ngomong ke aku? Nggak usah ikut campur urusan orang kalau nggak ikut kena getahnya," lanjutku.
"Karena Bude bilang susah buat ngajak kamu bicara kalau lagi marah." Ayash menjawab dengan tenang.
Aku memilih mengabaikannya dan masuk begitu saja ke dalam kamar. Aku kesal sekali, tapi ketika aku melihat Lila yang sedang tidur dengan tenang, marahku sedikit hilang. Kemudian aku kembali berbalik ke luar kamar dan menghampiri Ayash yang masih duduk di tempatnya tadi.
"Mau lihat Lila dulu?" tanyaku padanya dengan nada datar.
Ayash mengangguk sambil tersenyum tenang. Ayash tidak masuk ke dalam kamar, dia hanya melihat Lila dari ambang pintu, sementara aku berdiri tak jauh darinya.
Beberapa detik kemudian dia berpamitan dengan sopan, meskipun aku beri wajah tak suka dan nada bicara yang ketus.
***
Keesokan harinya, aku duduk di meja makan bersama orangtuaku dan Lila dengan wajah yang masam. Aku sama sekali nggak berniat untuk berbicara. Sementara itu Mama membantu Lila untuk makan, meskipun anak itu bisa makan sendiri.
Tak lama terdengar ketukan pintu rumah. Karena aku sedang marah, Papa lah yang mengalah untuk membukakan pintu. Ternyata tamu itu adalah Ayash yang membawakan tas sekolah Lila dan seragamnya.
Mama dengan tanggap langsung meminta seragam Lila dan membawanya ke kamar untuk ganti baju. Papa yang tadi menawarkan kopi kepada Ayash langsung berjalan menuju dapur yang berada di ruang terpisah dari meja makan. Sekarang tinggal lah aku dengan Ayash di meja makan.
Aku meliriknya sekilas yang nampak rapi dengan seragam cokelat khas PNS, dengan arloji berwarna silver di pergelangan tangannya. Seragamnya yang press body itu jujur memang terlihat pas dibadannya.
Ish! Apaan sih!
Aku berusaha kembali untuk mengabaikan.
"Lila nggak rewel?" tanyanya.
"Nggak." Aku menjawab dengan malas. Karena tidak ingin berinteraksi lebih jauh, aku bangkit dan tempatku duduk dan hendak meninggalkannya.
"Saya minta maaf," ujarnya tiba-tiba. "Saya kebingungan menempatkan diri. Saya tahu seharusnya saya nggak ikut campur.
Tapi permintaan maafnya sama sekali tidak membuat aku menoleh atau meresponnya. Aku tetap meninggalkan.
Hari ini aku tidak akan pergi ke peternakan. Aku memutuskan tinggal di dalam kamar untuk berpikir apa yang harus aku lakukan selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Clumsy Sisi
RomanceMama bilang kalau menantu idamannya itu harus PNS. Kalau usaha peternakan yang diwariskan oleh orangtuaku bangkrut, paling tidak masih ada suami yang punya penghasilan tetap dan stabil. Dan Ayash adalah nama laki-laki pilihan orangtuaku. Katanya, Ay...