"Kenapa senang sekali, Sayang?"
Nyonya Qian segera duduk di samping suaminya, menaruh kopi sang suami di atas meja sembari bergelayut manja. Senang sekali rasanya bisa bersama sang suami, bermanja-manja begini. Suaminya ini jarang sekali pulang, hanya bisa pulang di akhir pekan dikarenakan pekerjaannya. Jadi, hanya berdua saja di ruang tamu, menikmati acara acak di televisi, sembari bersandar di bahu suaminya, sudah menjadi surga tersendiri baginya.
Senyum secerah bulan sabit yang menampakkan diri di langit malam ini mampir di wajah Nyonya Qian. Tuan Qian ingat, senyuman secerah itu hanya pernah dia lihat dua kali. Pertama, saat Tuan Qian melamar Nyonya Qian. Kedua, saat mereka berdua menikah.
Lantas, apa yang membuat Nyonya Qian tersenyum sepuluh kali lebih cerah dibanding biasanya?
"Aku senang sekali, Sayang," ujar Nyonya Qian dengan nada ceria. Sebelah tangannya kini berpindah di dada suaminya. "Kautahu, akhir-akhir ini anak-anak kita sangat akur."
"Benarkah?" tanya Tuan Qian, keningnya berkerut heran sebelum kembali bertanya. "Tapi bukankah mereka memang selalu akur?"
Nyonya Qian memukul dada sang suami. "Ish! Akur dengan tidak akrab itu beda, Sayang!" ujar Nyonya Qian dengan gemas. "Memang selama setahun ini mereka tidak bertengkar, tapi itu karena mereka jarang sekali berinteraksi. Kalau sekarang, Ten suka sekali menempel dengan Kun."
"Ah, aku tidak memerhatikan hal itu," jawab Tuan Qian jujur.
Karena mereka sedang membicarakan kedua anak mereka, akhirnya Tuan Qian mengedarkan pandangannya. "Ke mana anak-anak kita?"
Nyonya Qian menggelengkan kepalanya. "Kau ini kebiasaan sekali. Kan tadi mereka sudah bilang mau liburan mumpung akhir pekan. Memang mereka nggak izin padamu?"
Tuan Qian menepuk keningnya lalu tertawa keras. "Oh, ya. Lupa, ke Pantai Jeongdongjin, 'kan? Mau lihat sunrise?"
"Iya, makanya mereka pergi tadi sore," jawab Nyonya Qian. "Sepi juga, ya. Nggak ada mereka."
"Justru bagus, dong. Kalau ada mereka, kita nggak bakal bisa mesra-mesraan begini."
Nyonya Qian terkikik, lalu memukul ringan dada suaminya. "Ah, Sayang, bisa saja!"
xxxxx
Tangan melingkar erat, menelusup, mencari celah. Ten mencondongkan wajahnya, berbisik. "Pantainya, indah, bukan?" sembari mengecupi bahu Kun terus-menerus. Sentuhan terakhir berupa gigitan di bahu, membekas sehingga darah perlahan keluar sebelum dijilat oleh Ten.
Bekas gigitan itu memantul di depan kaca jendela tempat mereka berdiri. Tak hanya satu, ada banyak sekali bekas gigitan di bahu Kun, baik yang telah memudar maupun yang masih baru.
Tangan Kun menyentuh tangan Ten yang masih berada di balik bajunya. Berusaha menghentikan aktivitas yang lebih muda.
"Ten, untuk hari ini cukup, ya? Jujur, aku lelah."
Senyuman Ten seketika menyurut. Tangan yang berada di balik baju Kun segera turun dan dengan cepat dia berdiri. Dari pantulan kaca, nampak sekali betapa tak sukanya Ten dengan ucapan sang kakak.
"Memang hanya kau saja yang lelah?" tanya Ten kesal, walaupun nada suaranya tak meninggi, tapi kesannya begitu menusuk. "Kaupikir, menyiapkan tempat, akomodasi, sampai makanan, itu tidak melelahkan?"
"Ten, dengar—–"
"Kau yang harus dengar!" ucap Ten kini dengan nada meninggi. "Kau harusnya yang paling tahu, kalau semua yang kulakukan ini untukmu. Kusiapkan semuanya dari akomodasi, tempat, sampai makanan, dan ke tempat ini hanya untukmu! Karena aku tahu kalau kau pernah bilang salah satu keinginanmu adalah ingin melihat matahari terbit di Pantai Jeongdongjin!" Merah wajah Ten karena amarah, sampai tangannya menunjuk-nunjuk Kun saking marahnya. "Tapi, kau ... untuk mematuhi ucapanku saja susahnya minta ampun!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tricking
RomanceTen awalnya hanya ingin menjebak Kun untuk menjadi anak nakal. Ia begitu muak dengan sang ibu yang terus membandingkan mereka. Namun, kali ini rencananya berubah total ketika melihat kakaknya yang mabuk begitu menggoda. [TenKun]