4

114 16 2
                                    


"Hei, kenapa melamun?"

Iris cokelat bening mengerjap sesaat, menoleh sedikit, nampak pemuda tinggi berkuping ala peri memberi kopi kaleng dan duduk di sampingnya.

"Belakangan ini kau nampak lelah, apa terjadi sesuatu?"

Kun yang tadinya menatap kopi kaleng, beralih pandang. Ada jeda cukup lama sebelum menggeleng pelan.

"Tidak ada ...," jawabnya lirih, menggenggam erat kopi kaleng yang diberi.

"Benarkah? Namun wajahmu nampak lelah sekali," selidik pemuda itu sekali lagi.

Kali ini, senyuman tipis menjadi pemanis ucapan Kun. "Aku baik-baik saja, Sicheng. Belakangan ini aku memang lembur saja."

Ragu masih terselip dalam mata lelaki berjaket denim tersebut. Namun, siapalah dia jika Kun tak ingin jujur? Sicheng tak ingin membuat Kun makin terbebani.

Tatapan Sicheng melembut, tangannya menepuk pelan pundak lelaki yang lebih kecil darinya. "Kalau ada masalah, kau bisa lari dan aku akan mendengarkan segala keluh kesahmu."

Sicheng tidak tahu apa yang terjadi, mendadak dirinya melihat tatapan mata Kun yang nampak penuh harapan setelah dirinya berkata demikian.

Senyuman lebar yang lebih tulus kini mampir di wajah sang pemuda Januari.

"Terima kasih, Sicheng."

Melihat Kun yang seperti ini, Sicheng jadi bertanya dalam diri ...

Ada apa denganmu, Kun?

.

.

.

                                                                                        Tricking

Karakter milik diri mereka sendiri dan Tuhan
Cerita punya kejupanggang
Tidak ada keuntungan komersil dalam pembuatan fanfiksi kecuali kepuasan batin
Jika ada yang dirasa memplagiasi cerita ini nanti, bisa bilang saya, bakal saya tampol online wkkw

.

.

.

Perpustakaan hampir tutup, tapi Qian sulung masih tak ingin beranjak. Sebuah buku menutupi wajahnya yang mendongak.

Sudah satu bulan hubungan mengerikan dirinya dan Ten berlanjut. Seperti lingkaran setan, Kun merasa sulit sekali untuk menemukan ujung dan memotongnya.

Semenjak pulang dari Pantai Jeongdongjin, Ten makin menjadi. Dia mulai membawa Kun untuk melakukan hal tersebut di tempat publik.

Dia sudah berjanji untuk mempercayai sang bungsu sepenuhnya, tapi dengan tingkahnya yang seperti ini ... membuat Kun jadi bertanya-tanya.

Apakah benar keputusannya untuk mempercayai sang adik?

Belum lagi hampir setiap hari sang adik mengajaknya untuk bercinta, Kun mulai berpikir bahwa itu cukup mengerikan.

Hampir setiap hari, otak Kun kosong melompong karena dibuai kenikmatan.

Hampir setiap hari, Kun merasa mulai kehilangan dirinya.

Hampir setiap hari, Kun ... merasa sekarang tubuhnya lebih mendengar perintah dari sang adik dibanding dirinya sendiri.

Takut.

Sungguh dirinya takut.

Dia benar-benar tak ingin menjadi murahan seperti yang Ten bilang. Kun tak mau perlahan kehilangan dirinya sendiri dan menangis jijik ketika melihat wajahnya di cermin.

TrickingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang