22. After They Gone

14 1 0
                                    

Cuaca cerah dan langit yang membiru mengantarkan kepergian nenek murni pada peristirahatan terakhirnya. Beberapa orang kenalan, tetangga, serta sahabat kedua cucunya banyak memberi perhormatan terakhir.

Fajar terlihat lebih tegar hari ini. Tapi pemuda itu belum mau banyak bicara dan hanya seadanya. Hanaya sudah datang pagi tadi masih setia di samping Fajar walau sebenarnya tak banyak lelaki itu gubris.

Fajar dan dika masuk kedalam liang lahat dibantu beberapa pengurus tetangga. Tangis Irzan kembali meraung saat jenazah nenek murni dimasukkan kedalam liat lahat. Sama dengan fajar lelaki itu juga tak kuat menahan banjiran duka.

"Jangan nangis, jar. Kasian nenek murni nanti jalannya ga tenang," ucapan Dika langsung membuat Fajar tersadar dan segera menghapus air matanya.

Nenek Murni sudah berada ditempat terakhirnya. Baju hitam fajar sudah terlihat lusuh dengan beberapa tanah yang hinggap disana. Para penggali kubur mulai memasukkan tanah pada liang lahat itu.

Setelah papan nisan tertancap semua mulai menaburkan bunga pada pusara itu. Fajar berjongkok dan hanya menatap nanar serta kosong pada kayu yang kini telah terlukis jelas nama orang terkasihnya. Terputus sudah benang merah antara kehidupan dan kematian. Hanya kasih sayang Fajar dan Irzan yang akan terus mengalir. Mengiringi langkah baru nenek murni yang akan segera dipertemukan dengan kakek Zian disana. Kembali bersama karena hanya maut lah yang memisahkan keduanya dalam waktu yang tak lama.

Area pemakaman sudah mulai sepi. Banyak yang menarik diri.

"Sheila, ayo," bunda Zena mengajak Sheila untuk segera melipir.

Tapi sesaat gadis itu berbalik, sebuah tangan mencekal pergelangannya. Fajar lah sang empu. Menatap Sheila dari bawah.

"Disini dulu sebentar, stay sama gue, Irzan, dan nenek. Karena cuma lo yang kita mau."

Ucapan Fajar sungguh menohok bagi Hanaya. Gadis itu langsung pergi dan Sheila menggantikan posisi itu, disebelah fajar dan Irzan.

"Lo kemana aja sih kemarin? Kenapa engga bareng gue sama irzan?" Fajar berujar dengan nada yang merendah.

"Gue bantu-bantu urusan didepan sama anak-anak. Lagian kan udah ada Hanaya, jar. Bagi gue itu cukup, peran dia ada."

"Kak, yang gue butuhin bukan siapa-siapa lagi. Tapi lo. Lo yang gue mau, lo yang nemenin gue," tungkas Irzan.

"Gue juga, Shei. Gue butuh lo, bukan Hanaya. Cuma lo yang gue butuhkan." Batin fajar.

"Begitu juga Nenek, Shei. Nenek mau lo yang ada sama kita. Nenek mau liatnya kita bertiga. Gue, Irzan, dan lo." Tutur Fajar,

"Nenek sayangnya sama lo. Harapan nenek selain untuk gue sama irzan tapi juga lo, sheila."

Sheila langsung terisak. Nenek Murni memang begitu terlihat sayang dan peduli terhadap Sheila, lebih dari ayah kandungnya. Walau bukan berupa materi, tapi justru kehangatan yang sheila butuhkan.

Kenangannya terakhir bersama nenek murni berputar dikepalanya. Mereka yang bahagia dalam berkolaborasi didapur. Senyum nenek murni juga banyak mengembang disana.

Fajar yang peka langsung membawa Sheila kedalam pelukannya. Sheila masih terisak disana dan fajar senantiasa menenangkan dan mengelus surai lembut itu.

"Nenek mau titip satu amanah sama kamu boleh, sayang?"

Sheila yang tengah memasukkan adonan ke sebuah plastik menghentikan aktivitasnya. "Apa nek? Tapi kalau sheila ga bisa jaga amanatnya Nenek, sheila dosa."

Nenek Murni tersenyum, "Nenek minta tuntun fajar ya. Dia itu sebenarnya anak yang sangat keras kepala. Jika dalam waktu dekat atau dalam waktu lama, orangtua mereka kembali, nenek mohon sama kamu bujuk fajar agar mau menerima mereka kembali. Kalau tidak bisa hidup bersama, setidaknya fajar harus mengakui bahwa mereka adalah orangtua kandungnya yang harus ia hormati. Hanya fajar yang nenek khawatirkan itu. Nenek yakin, fajar mau mendengarkan kamu. Percaya pada nenek."

Aku Dia dan KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang