38. I'm Okay Not Okay

9 0 0
                                    

Suasana malam hari ini terasa sangat berbeda. Cuaca yang panas diluar-akibat hujan yang tak kunjung hadir padahal guntur sudah menggelegar sedari tadi- menyusup masuk ke dalam suatu rumah. Hawa panas belum bisa dielakkan selama 10 menit kala kedua anak lelaki menolak mentah ajakan sang ayah untuk mencari ibu kandung mereka.

"Engga, Pa, Irzan ga setuju Papa buat keputusan itu, Irzan gamau. Buat apa sih, Pa?" Irzan sangat bersikeras menolak. Ia tak bodoh dengan kenyataan apa yang Ibu nya lakukan dulu.

"Kita juga harus tahu alasannya, zan. Kita ga bisa berpura-pura lupa dan mengenyahkannya begitu saja. Penjelasan Papa saja tidak cukup, kita juga harus tahu dari sudut pandang Mama agar segalanya tidak menjadi salah paham terus menerus. Agar kebencian itu tidak makin tumbuh,"

"Bang, ngomong dong, jangan diem terus. Lu setuju ga sama usulan Papa itu?"

Fajar mengarahkan pandangannya pada sang adik lalu ayahnya. "kalau Fajar bersikeras kaya Irzan, apa Papa bakal berubah pikiran? Untuk ga cari mama,"

"Fajar, Irzan, bagaimanapun mereka ibu kalian. Kita harus tahu keberadaannya dimana. Jangan terlalu berlarut dalam kebencian, nak, apalagi pada Ibu sendiri. Ya, tahu, mungkin cara Mama dulu salah dan benar-benar keterlaluan. Tapi, ingatlah, dia juga yang bantu Papa mengurus dan merawat kalian kecil. Yang melahirkan, bertaruh nyawa untuk Fajar dan Irzan adalah Mama. Jika Mama memang jahat terhadap kita yasudah, tapi bisakah kita lembut untuk sedikit meluluhkan hati nya?"

Obrolan mereka menggantung. Tanpa jawaban serta tanpa solusi jalan keluarnya. Danny mendapat panggilan telepon dari teman kerjanya yang di rasa sangat penting.

Fajar menghela nafas dan memilih masuk ke dalam kamar. Ia duduk dengan bersandar pada kasur. Kakinya ia tekuk dan tangan yang ia satukan. Menatap tembok putih polos di hadapannya ia sedikit menerawang. Senyum mirisnya terbit.

"Kalau kamu ada disini sekarang masih sama aku, aku pastinya bakal langsung ngadu ke kamu. Kamu secercah harapan aku, kamu obat buat aku. Sayang, aku ga punya tempat buat cerita dan ngadu lagi. Belum tentu semua orang mau dengerin keluh kesah kehidupan aku kaya kamu yang selalu berbinar dengerinnya. Masalah ini engga akan dapet jalan keluar tanpa pikiran dingin kamu. Makasih, Shei, sempat hadir dengan begitu membekas dan bermakna."

"Apaa? Kangen ya sama guee?"

Fajar terkesiap dan terlonjak kaget saat suara yang begitu candu itu tertangkap indra pendengarnya. Ia menatap tajam pada sampingnya dimana Irzan tengah melakukan panggilan telepon dengan Sheila dan sengaja mengeraskan suaranya.

Hati Fajar hampir saja keluar mendengar suara itu. Ia kira ditengah lamunannya pada gadis itu, gadis itu juga muncul tiba-tiba dihadapannya.

Irzan menjauhkan ponselnya dan ia berbisik pada sang Kakak. "Gue tahu, Bang, lo dan gue itu butuhnya cuma kak Sheila. Ga usah pake gengsian deh, Bang, kalau emang mau cerita nya ke Kak Sheila tinggal langsung hubungin. Nomor masih yang lama. Emang boleh se tenggelam itu roomchat nya kak Sheila?"

"Kak, ini gue cerita sama lo gapapa, kan? Lo bersedia dengerin dan bantu cari solusi?" Irzan kembali memfokuskan dirinya dengan perbincangan telepon itu.

"Apaan sih lo, zan, pake nanya gitu, kaya apa aja. Cerita mah ya cerita aja sama gue, apapun gue dengerin. Kalau soal solusi ya gue juga ga jamin bisa ngasih sarannya, kan ga semua gue tauu,"

Irzan tertawa, "iyaa iyaa. Jadi gini, kak, Papa tiba-tiba ngajakin gue sama bang Fajar buat cari Mama, buat cari tau alasan Mama dulu dan kalau bisa bawa Mama kembali. Sedangkan, gue sama abang bersikeras buat nolak, kenapa? Karena kita udah pasti yakin Mama ga bakal mau, Kak. Udah jelas dia yang ninggalin kita dulu terus buat apa sekarang kita ngemis-ngemis kembali?"

Aku Dia dan KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang