31. Pengakuan

12 0 0
                                    


Kicauan burung serta bisingnya beberapa kendaraan menemani sore Fajar didepan balkon rumahnya. Sebuah balkon yang tertutup dengan kaca besar spot yang nyaman miliknya.

Sudah seminggu, ia tak bertukar kabar dengan sang kekasih dan itu sudah menjadi kesepakatan keduanya. Fajar hanya mampu menghela nafas menahan lagi-lagi rindu yang menggejolak tiap detiknya.

Malamnya kini bersemayam kelabu. Beberapa kali Fajar bermimpikan mendiang Kakek Zian dan Nenek Murni serta kedua orangtua nya dulu. Entah apa maksud dari mimpi itu tapi Fajar menjadi sedikit terpikir lagi dua orang terkasihnya. Rindu.

Ceklek

"Bang, mau pinjem laptop dong, ada tugas makalah,"

Irzan menyembulkan kepalanya di sebalik pintu.  Fajar menoleh sebentar.

"Ambil aja, zan. Di tas gue,"

"Tas nya mana?"

"Sebelah kiri kasur,"

Setelah mendapat intruksi singkat sang Kakak, Irzan pun masuk dan mengambil barang yang dibutuhkannya.

"Kenapa lo, bang, ngelamun mulu. Ciahh galau ditinggal kak sheila,"

"Bacot lu. Laptop nya udah?"

"Udah, gue pake bentar ya, bang." Irzan menunjukkan laptop yang sudah ada dalam pelukannya dan fajar mengangguk.

"Bang.."

"Hm,  kenapa lagi? Butuh apa?"

"Itu..masalah itu, gimana?"

Fajar menoleh pada Irzan yang kini sudah duduk disampingnya.

"Ngomong yang jelas Irzan. Biar abang ngerti," ucap Fajar masih tenang.

"Boleh gue ganti motor?"

Fajar menghela nafas diam-diam. Perbincangan ini lagi membuatnya banyak berpikir. Bahkan sebulan lalu kakak beradik itu sempat bertengkar hebat karena keinginan Irzan mengadu serta merengek untuk mengganti motornya.

"Belum bisa, zan. Tunggu dulu, minimal sampe bisnis abang sama temen-temen jalan. Jadi abang bisa bagi semuanya ga terlalu ngandelin gaji resto doang buat semuanya,"

"Irzan bisa jual motor yang sekarang," sanggah Irzan.

"Tapi ga menutupi buat semua juga, kan? Masih banyak tambahannya."

"Abang ga mungkin juga jual motor abang, zan. Cuma itu satu-satunya sarana yang kita punya. Peninggalan kakek juga engga akan abang lepas gitu aja. Buat sekarang sabar dulu, Irzan ngerti kan?" Sambungnya.

"Iya deh, bang. Maafin Irzan nyusahin abang terus. Kalau masih ada kakek nenek pun kita ga bakal gini banget, bang."

Fajar menunduk dan sedikit terbesit segala jenis nasibnya yang sangat naas.

"Nanti abang kasih tau kabar baiknya, secepatnya. Bang Dika juga punya kenalan dealer moge, ntar di bantu biar dapet keringanan katanya,"

"Iya bang. Yaudah gue ke kamar lagi. Thanks bang."

Irzan berdiri tapi ucapan Fajar tiba-tiba membuatnya terdiam ditempat sebentar lalu setelahnya berlalu dengan kata maaf yang tersemat dibibirnya dengan lirih.

"Kalau Dika atau orang lain yang jadi Abang Irzan, pasti semuanya bisa Irzan milikin. Maaf, Irzan harus jadi Adik abang dan ikut sama sengsaranya abang."

"Kakek sama Nenek harus bahagia disana. Bantu Fajar buat kuat disini."

"Saya yakin kakek dan nenek kamu di tempat baik."

Aku Dia dan KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang