BAB 05 || PAPA DAN MASANYA

217 71 50
                                    

“Jatuh cinta ketika memiliki rasa trauma adalah sebuah kesalahan yang begitu fatal.”
__________________________________________________

Al-Birru by : Gitar_senja 🦋
__________________________________________________

 

“Jangan jatuh cinta ketika kamu masih mempunyai rasa trauma, ra.”

Pergerakan tangan Afra yang semula memegang ponsel itu terhenti. Kepalanya menoleh meski beberapa helai rambutnya tersapu oleh angin yang memasuki celah jendela mobil yang sedikit terbuka.

“Maksud Papa?”

“Sahabat kamu kan bilang kalau kamu jatuh cinta sama cowok yang namanya..” Dua mata Bhumi memejam. Dia mengingat-ingat terlebih dahulu sebuah nama yang sempat ia tahu. “Ra—Rafa!” Bhumi menatap sekilas ke arah samping. Tak mendapat respon apapun dari putrinya itu, membuat Bhumi kembali fokus ke arah depan, menatap intens setiap jalan yang dilalui oleh kendaraan yang ia kemudikan. Nama itu terdengar mudah untuk diucap. Namun mengingatnya tidak semudah itu. Mungkin hal itu bawaan dari umurnya yang kian hari menua meski wajah tegasnya bertolak belakang dengan usianya yang sudah tidak bisa disebut muda.

“Sekolah tadi gimana? Baik-baik aja?” Alihan pembicaraan membuat Afra menoleh sekilas ke arahnya.

“Ya, gitu. Kurang baik untuk hari pertama aku masuk sekolah.” Afra menekuk wajahnya kesal. Entah mengapa kesialan di hari pertamanya sekolah terasa begitu menyialkan untuk ia lalui.

“Kurang baik gimana? Ada yang gangguin kamu?” Bhumi dengan arah pandang menatap jalanan itu mengeluarkan suaranya. Senderan kepala dengan ponsel yang sudah tidak di genggam oleh gadis itu membuat Bhumi menatapnya heran.

“Iya, ada.” Afra menjeda ucapannya sebentar. “Tapi kekesalan aku semakin bertambah gara-gara Papa.” Afra kembali melanjutkan ucapannya yang sempat terjeda. Tak ayal jika hal itu membuat Bhumi—Papanya itu memilih untuk menghentikan terlebih dahulu laju kendaraannya dan menepi di sisi jalanan kota.

“Ko, jadi Papa?” tanya Laki-laki itu segera, mengingat jika ia tidak mempunyai salah apapun terhadap putrinya itu.

“Ya, habisnya Papa ngapain coba bilang aku lagi jatuh cinta sama Rafa. Aku ga kenal sama dia. Papa nyebelin!”

Bhumi menghela napas. Pijatan di keningnya ia lakukan ketika mendengar keluhan kesal yang tertuju kepadanya.  Entah kenapa putrinya ini selalu bersikap marah-marah hanya karena hal-hal kecil yang terbilang cukup sepele. Laki-laki itu pun memasang raut wajah tersenyum. Berhadapan langsung dengan sikap seorang perempuan yang mana adalah putrinya sendiri ternyata lebih sulit dari sekedar mengejar seekor kucing yang tengah berlari.

“Papa minta maaf, oke?” Bhumi mengalah. Ia tidak ingin hal yang lebih buruk terjadi. “Papa Cuma nanya aja sama kamu. Tadi kan, sahabat baru kamu yang bilang gitu sama Papa.”

Afra mengembuskan napasnya lelah ketika mendengar akan hal itu. Ini semua memang gara-gara Ayla—sahabat barunya itu yang asal ceplos ketika berbicara. Dua mata itu menoleh. Tak seharusnya juga ia marah kepada Papanya ketika masalah ini terbilang sepele. Ini semua gara-gara Ayla. Dan ya, jangan lupakan juga jika ini semua tidak akan terjadi jika bukan Rafa yang memulai semuanya—atau mungkin dia yang terlalu saltingan.

“Maafin Afra, Afra salah.” Tangan kanan Afra tergerak. Menggenggam hangat tangan kiri Papanya yang begitu hangat, sehingga berhasil membuat Bhumi menatap heran ke arahnya. Gadis itu tersenyum kecil. Bersuara kembali sebelum pada akhirnya genggaman tangannya ia lepas. “Maafin Afra yang selalu marah-marah ga jelas sama Papa. Papa adalah pahlawan hebat Afra yang begitu kuat. Afra Cuma masih kesel aja sama cowok nyebelin tadi yang disekolah. Dia batu banget. Tapi sekalinya bicara, jantung orang langsung copot gara-gara batu hidup kaya dia.”

“Dia siapa?”

“Itu, cowok yang tadi Papa bilang deket sama aku.” Afra menyenderkan kepalanya kesal. Gadis itu merasa tidak semangat untuk kembali berbicara, sekedar untuk menjawab setiap pertanyaan yang mungkin saja akan keluar dari mulut Papanya.

“Sama cowok ga usah terlalu kesel kaya gitu. Jatuh cinta sendiri kan malu nantinya.”

“No. Ga mungkin juga plot twis nya  jatuh cinta sama seseorang yang—“

“Semua bisa saja terjadi, Afra..” potong Bhumi cepat, membuat Afra kehabisan kata untuk mengilah dari ucapan yang baru saja ia dengar.

“Cowok itu kalau lagi jatuh cinta bisa nyembunyiin perasaan sukanya selama bertahun-tahun. Lain halnya sama Perempuan, perasaan itu cenderung lebih menonjol karena sifat cemburunya keluar meskipun perasaannya itu masih terpendam rapat.” 

Afra tak mengilah. Mencerna terlebih dahulu semua hal yang baru saja ia dengar, bola matanya seketika memelotot tajam. “ko terkesan kaya aku bakalan jatuh cinta aja, sih. Papa ga usah mulai bersikap nyebelin!”

Bhumi hanya menggelengkan kepalanya pasrah. Ia kembali melakukan sebuah kesalahan.

“Perempuan emang ga bisa takluk sama hal apapun juga di dunia ini. Untung Papa sayang sama kamu. Naklukin Mama kamu aja Papa butuh waktu bertahun-tahun supaya ga salah terus kalau bicara.” 

“Diantara Mama sama Papa, siapa yang jatuh cinta duluan?” Afra mengalihkan pembicaraan. Topik ini serasa membuat rasa keingintahuan nya meronta ingin keluar.

Bhumi terkekeh kembali. Laki-laki itu merasa gemas sendiri dengan sikap putrinya yang selalu berubah dengan cepat. “Papa.” Menjeda terlebih dahulu, kendaraan yang semula berhenti dan menepi di sisi jalanan kota itu kembali bergerak seiring dengan Bhumi yang kembali bersuara. “dulu itu, Papa ketemu sama Mama kamu waktu SMA. Ga sengaja ketemu di perpustakaan waktu Papa mau ngambil buku buat tugas Papa.”

“Mama langsung jatuh cinta?” Tanya Afra.

“Engga. Mama kamu itu susah banget buat jatuh cinta. Naklukin sikap dia aja butuh waktu lama untuk jadi yang seperti sekarang.”

“Aku sama ga, kaya Mama?”

“Maksud kamu?!” sekilas, tatapan Bhumi menatap ke arah samping. Dia hanya belum mengerti dengan apa yang baru saja ia dengar.

“Maksud aku, sikap aku sama ga, kaya Mama. Mama kan susah buat jatuh cinta, jadi, aku juga pastinya sama dong.”

Bhumi menggelengkan kepala ketika mendengar hal itu. Entah kenapa ucapan Afra terdengar lucu di telinganya. “Mama kamu itu cuek. Kalau kamu itu saltingan duplikatnya sikap Papa yang lain.”

“Afra ga saltingan ko. Afra ini cewek mahal!” kilah Afra tersenyum bangga. Gadis itu memperlihatkan senyuman manisnya yang berhasil membuat Papanya menghela napas panjang untuk kesekian kalinya. 

“Terserah kamu aja. Dari pada nanti Papa salah ngomong, Papa juga yang repot.” Bhumi terkekeh kecil mendengar ucapannya barusan. Fokusnya tidak kembali terbagi. Pria itu hanya memfokuskan tatapannya ke arah depan, membawa laju kendaraannya di atas kecepatan rata-rata.

Afra yang melihat akan hal itu hanya memutuskan untuk diam. Keberuntungannya yang bisa mendapatkan seorang Ayah yang begitu ketat menjaganya dari segala hal yang bisa saja menyakitinya, membuat rasa iri terhadap orang lain tidak pernah ia rasakan. Percayalah, seorang anak perempuan akan merasa iri ketika melihat orang lain bisa mendapatkan cinta kasih yang begitu tulus dari Ayahnya. Mulai dari sebuah perhatian kecil yang begitu manis, hal itu adalah suatu harta berharga yang tak akan pernah bisa terbayarkan oleh banyaknya harta yang ada di dunia.

“Ra..”

Kepala Afra menoleh. Dia menunggu hal apa yang ingin diucapkan oleh Papanya ketika hanya diam seraya menatap kearahnya tanpa sedikitpun mengedipkan kedua matanya.

“Mencoba untuk jatuh cinta boleh. Papa percayakan hal itu sama kamu. Tapi, satu hal yang Papa minta, jatuh cintalah kamu ketika rasa takut dan trauma itu sudah sembuh. Jatuh cintalah kepada Laki-laki yang tahu bagaimana caranya menghormati seorang perempuan. Kelak, dia akan membuat kamu tersenyum seolah kamu lupa jika semesta bukan hanya ditempati oleh kalian berdua.”

  

__________________________________________________

Al-Birru by : Gitar_senja 🦋
__________________________________________________

Al-Birru (DIROMBAK)Where stories live. Discover now