Chapter 6

110 11 1
                                    

A Recantation

Naruto by Masashi Kishimoto

Desa

"Dunia memiliki nilai berbeda di mata mereka yang tumbuh dalam konflik."

.

.

.

Konoha adalah desa yang diberkahi, tanah yang diimpikan. Bukan tanah berpasir yang membawa panas bersamanya, bukan tanah berbatu dan bukan daratan yang memiliki tebing-tebing tinggi yang akan menghalangi aktivitas warganya, kabut pun tidak membuat setiap anak yang baru belajar berjalan terganggu. Tanah yang sempurna. Tak perlu bersusah payah untuk memulai hidup di desa ini. Setidaknya, itulah yang terlukis pada setiap gambaran dan literatur yang tersimpan rapih dalam rak-rak buku.

Tetapi pada kenyataannya, desa Konoha hanyalah desa yang terbentuk dari cinta yang terlalu dalam dan rasa sakit yang begitu besar. Semua kebencian berawal dari tanah penuh kesempurnaan itu. Lalu, kata siapa anak-anak tidak harus berjuang bertahan hidup di Konoha?

Pada akhirnya, anak-anaklah yang menjadi korban terbesar dalam berdirinya desa Konoha. Masih terekam dengan jelas bagaimana setiap anak di desa dikirim ke garda terdepan mempertahankan desa yang saat itu selalu berteman dengan perang. Ada juga kisah seorang bayi yang masih merah yang harus mengorbankan cinta orangtuanya demi menanggung kebencian seluruh desa. Dan kisah yang tidak akan pernah diketahui oleh siapapun, tersimpan dalam sunyi dan menjadi sisi yang tidak boleh disentuh setiap orang. Kisah seorang anak yang mengorbankan seluruh klannya untuk menanggung seluruh dosa di masa depan untuk kebaikan desa.

Tidak, mereka tidak menyadarinya. Tidak ada seorangpun yang tahu dan ingin mengingat sejarah kelam itu.

Yang orang tahu saat ini hanyalah kisah Konoha yang menebar cinta. Kisah kepahlawanan yang menyatukan harapan seluruh penjuru negeri yang silaunya membutakan mereka pada sisi kelam desa Konoha.

Tetapi Hatake Kakashi menyadari itu, dia hidup diantara kedua sisinya. Menjadi hokage dan menjaga kedua sisi itu tetap ada dan tidak terlupa oleh setiap generasinya. Walau sampai pada akhir masa kepemimpinannya, Kakashi terlena.

Hatake Kakashi terlena oleh silaunya dan membiarkan seluruh desa perlahan ikut melupakan sisi lain desa ini. Ambisinya pada kedamaian membuatnya lupa. Bahwa tuhan selalu menciptakan dunia dalam keseimbangannya, seberapapun kerasnya dia berusaha hanya pada satu sisi.

Dalam perenungannya yang panjang diantara sela-sela waktu luangnya. Kakashi terkadang mempertanyakan kembali segala keputusannya selama menjadi seorang pemimpin. Mengira-ngira apakah yang dipilihnya adalah yang terbaik? Ataukah hanya ilusinya yang selalu mendambakan ketenangan semata?

Tak terkecuali saat ia sedang menghabiskan waktu bersama sahabatnya, menikmati pemandangan seluruh desa dari tebing tertinggi di Konoha. Tebing yang mengukirkan jejaknya sebagai seorang pemimpin dan para pendahulu serta penerusnya, tebing wajah hokage.

"Aku melupakannya," gumam Kakashi.

"Apa yang kau lupakan, Kakashi?" Tanya Gai, sahabatnya yang duduk di kursi rodanya. Mereka berdiri bersebelahan, menatap pemandangan desa Konoha di pagi hari dari atas tebing setelah mengakhiri kompetisi pagi mereka.

"Banyak hal," jawabnya singkat.

"Hahaha! Wajar saja, kita ini sudah tua. Jangan terlalu dipikirkan!"

"Kau benar Gai, kita sudah tua."

A RecantationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang