Chapter 7

79 9 1
                                    

A Recantation

Naruto by Masashi Kishimoto

Chapter 7

Maafkan Aku

"Apa kau sudah melakukannya.. dengan benar?"

.

.

.

Gaara menaruh gulungan yang baru saja tiba dari Konoha setelah membaca isinya. Dia tidak merasakan apapun, tidak terkejut atau kecewa.

Apa yang ada dipikirannya selama ini adalah benar. Laporan tersebut hanya menjadi bukti lain dari praduganya, tidak lebih.

Memang, motif sederhana tentang balas dendam adalah hal yang wajar. Kemarahan dan kebencian adalah satu-satunya hal yang bisa mengalahkan rasionalitas ketika sebuah penyerangan terjadi tanpa memikirkan konsekuensi apapun.

Dia sudah menebaknya, seharusnya bukan hal yang mengejutkan untuknya.

Seharusnya memang tidak apa-apa—

— tetapi, rasanya aneh.

Seolah dia melakukan kesalahan— sesuatu yang diluar perhitungannya— melakukan sesuatu yang tidak terduga. Sesuatu yang membuat dadanya begitu sesak dan perutnya keram.

Sakit...

Begitu sakit sehingga dia meremas erat perutnya dengan satu tangan dan dadanya dengan tangan yang lain. Pandangannya kabur dan ruang kantornya terasa berguncang, membentuk spiral dan mengecil dalam satu titik yang gelap.

"Hei, Gaara! Ada apa denganmu?!" Suara Kankuro terdengar jauh. Padahal saudaranya itu ada bersamanya di ruangan yang sama— begitu juga dengan Baki. Tetapi sahutan kekhawatiran itu terdengar  menggema dalam ruangan dan terpantul selain telinganya.

Ketika Gaara mengalihkan pandangannya ke lantai, bayangan Baki dan Kankuro yang berdiri didepannya terlihat bergoyang. Seakan-akan dirinya terkena genjutsu, mendistorsi ruang pijaknya.

Tanpa memedulikan sahutan dari Baki dan Kankuro, Gaara berlari menuju toilet dan mengunci pintunya.

Berdiri berpegangan pada wastafel—Gaara memuntahkannya, mengosongkan perutnya yang sejak tadi hanya diisi dengan air putih— dia masih merasakan keram yang hebat. Ditambah lagi, dadanya masih sesak seakan-akan sirkulasi udara disekitarnya menurun.

"Menyedihkan," lirihnya seraya membilas wajahnya dan membersihkan wastafel.

Dia memerhatikan pantulan wajahnya pada cermin di atas wastafel. Kulitnya begitu pucat, Gaara tidak tahu sejak kapan dia terlihat kacau seperti ini. Dia membilas wajahnya lagi dan mengusap dengan kasar, memberikan sedikit rona merah pada wajahnya. Tangannya kembali memegang wastafel, mencengkeramnya erat. Dia menarik nafas panjang, mencoba menetralisir kondisi tubuhnya yang terasa aneh.

Rasanya tidak mungkin hanya karena tulisan tinta hitam di atas putih bisa membuatnya seperti ini. Dia tidak selemah itu. "Tidak," dia menggumamkan kata penolakan. Tetapi rasa keram diperutnya semakin kuat, rasanya dia ingin memuntahkan seluruh isinya lagi jika saja masih ada yang tersisa.

A RecantationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang