Petualang

232 24 3
                                    

BoBoiBoy milik Animonsta Studios
.
Bertemakan hewan, bergenre petualangan, dan berlatarkan tempat di hutan. Fanfiksi ini ditulis oleh HoriDeka dan diedit oleh DekaAnderskor.
.
.
.
Petualang
.
.
.

“Dua belas koin perak hanya untuk semalam!?”

Pemuda berkacamata bundar menggebrak meja hingga suaranya menggema seisi ruangan. Sementara orang-orang di sekeliling terdistraksi oleh kebisingan sedetik, wanita di balik meja memberi gestur agar si pemuda menenangkan diri.

“Apa tidak ada yang lebih murah dari itu?”

“Kami hanya menyediakan dua jenis kamar. Memang itu yang paling murah, Tuan.” Wanita pemilik penginapan membela diri, lalu menambahi, “Saya yakin penginapan lain di kota ini juga tidak berbeda.”

Halilintar melihat Solar mengembuskan napas panjang dari posisi duduknya di kursi kayu ruang tunggu. Sudah hampir setengah hari mereka berkeliling kota mencari tempat berteduh yang harganya bersahabat.

Namun, seperti kata wanita itu, semua penginapan di kota yang mereka singgahi memiliki harga yang hampir sama. Sama-sama menguras isi dompet.

Ketika akhirnya mereka memutuskan untuk menghabiskan malam beratapkan langit, Halilintar merasa déjà vu mendapati Solar lagi-lagi mengembuskan napas sambil membaca panduan petualang warisan kakeknya.

“Sudahlah, tidak usah diambil pusing,” kata Halilintar sembari menumpuk ranting-ranting kering agak jauh dari tenda. Dia tidak menyadari Solar yang sudah melirik tajam. “Ini kan bukan pertama kali kita menginap di tengah rimba.”

Tentu saja Solar tahu satu fakta yang dibeberkan pemuda tersebut. Akan tetapi, puncak dari kekesalannya bukan itu. “Aku tidak sangka orang-orang di kota ini menaruh harga tinggi di setiap penginapan.”

Pemuda penuh perhitungan bernama Solar yang menggerundel sebetulnya adalah sebuah kewajaran. Di negeri-negeri yang pernah mereka kunjungi, kebanyakan penginapan hanya menaruh harga sekitar tiga hingga lima koin perak untuk biaya menginap semalam.

Saat kedua pemuda itu bertanya pada sekelompok pria yang kebetulan berkumpul di penginapan yang sama, mereka hanya mendapat repetisi informasi dari wanita resepsionis.

Halilintar mulai menyunu dengan pemantik. “Kalau harga barang yang kau perlukan terlalu mahal, artinya uangmu belum cukup. Tapi kalau harga barang yang kau inginkan terlalu mahal artinya kau bukan target pasarnya.”

Dahi pemuda berkacamata sedikit berkerut. Sembari memperbesar kobaran api, Halilintar menambah lagi, “Perlu dan ingin adalah dua hal yang berbeda. Kita masih bisa tidur meskipun tidak istirahat di penginapan karena membawa tenda. Walau banyak nyamuk dan tidak bisa merasakan kasur empuk, setidaknya kita terlindung dari hujan dan panas.”

Iris delima Halilintar bersinar jingga memantulkan warna nyala api. Di tengah syahdu semilir angin hutan serta derak bara melahap ranting, sayup-sayup terdengar dengkus sinis dari arah belakang.

“Syukuri saja apa yang kita punya sekarang, Tuan Muda.” Halilintar enteng menanggapi keluhan Solar yang disampaikan sehalus mungkin.

Solar meletakkan manual petualang di atas batang pohon tumbang tempatnya duduk, lalu berjalan mendekati api unggun. Ekspresi angkuhnya tidak berubah. Hanya ada sedikit sorot kesal yang tersirat.

Sementara Solar mulai menyusun potongan-potongan kayu untuk membuat tungku, Halilintar mengambil perlengkapan dan bahan-bahan yang diperlukan untuk memasak.

Beret Tinta di JanuariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang