Zevano Mahendra
Aku terbangun di pemakaman, tidak banyak yang diingat setelah mendorong Zevanya untuk menghindari truk lepas kendali itu. Aku mulai mengamati sekitar pemakaman, melihat satu-persatu nama dinisan, saat aku melihat disamping kanan ternyata ada namaku di nisan itu, aku terkejut. Berlari tanpa arah, sampai menemukan pemuda-pemuda yang sedang nongkrong.
"Permisi bang, mau nanya, ini didaerah mana ya?" tanyaku ke salah satu pemuda, tapi tidak dijawab, dilihat saja tidak. "Hey bang, hallo bang," ucapku melambaikan tangan tepat didepannya, tidak ada respon. Aku beralih ke pemuda yang lain, tetap tidak ada jawaban. Aku kemudian berlari sampai menembus jalan raya, tanpa sadar diri ini sudah ada ditengah jalan. Aku melihat mobil dengan kecepatan tinggi mengarah padaku, aku yang kaget hanya memejamkan mata saat benda berjalan itu mengenai ku, menunggu apa akan terjadi. Tidak ada yang terjadi, aku mencoba tetap berdiri di tempat ku, mobil dibelakangnya yang akan membuktikan semuanya, dengan ragu aku berdiri dan memejamkan mata kembali, dam benar, mobil itu juga menembusku. Aku berteriak sekuat-kuatnya, tidak ada yang memperhatikan, terduduk lemas dan akhirnya sadar, bahwa aku bukan lagi manusia, melainkan arwah.
Aku bejalan sambil melamun, perjalanan panjang ini sampai juga di taman dekat rumahku. Aku berlari menuju rumah, menembus semua yang menghalangiku. Pergi ke kamar Zevanya, gadis itu sedang duduk, menangis, dia memegang figura foto kami dengan erat. Jadi ini bukan mimpi ya?
"Aya, kak Ano disini, ya?" ucapku sia-sia, Zevanya tetap tidak mendengarnya. Dia masih menangis, membuatku ikut menangis juga.
Bertahun-tahun aku menemani Zevanya, duka-duka yang dilewati adikku, aku selalu melihatnya tanpa bisa berbuat apa-apa. Ternyata kepergianku membuat semuanya berubah, rumah yang selalu ramai dengan candaan kami, sekarang sepi. Zevanya yang periang menjadi muram dan pendiam. Papah yang tegas namun penyayang sekarang menjadi pemarah dan sangat membenci Zevanya. Kehidupan di rumah maupun sekolah adikku tidak ada bedanya, semua membuatnya menderita. Dan aku membenci itu.
Kejadian di sekolah Zevanya paling parah saat Alexa dan teman-temannya berusaha menyakiti Zevanya dengan catokan panas. Aku benar-benar sangat bingung waktu itu, menjadi Kakak yang tidak berguna dan tidak bisa melakukan apapun. Namun keajaiban membawaku bertemu Xavier, laki-laki itu adalah satu-satunya manusia yang bisa melihatku, kami menyatu, aku merasuki tubuhnya dan menyelamatkan Zevanya.
Berbulan-bulan aku meminjam tubuh Xavier untuk menyelamatkan Zevanya dari pembullyan, hingga suatu hari dia menjadi sadar kehadiranku, aku tidak peduli karena dia juga tidak mengucapkan apa-apa. Namun saat ingin meminjam tubuhnya lagi, dia berlari menjauh dariku.
"Jangan mendekat, atau gue lembar bawang putih ini?" ancamnya kepadaku, membuatku bingung dan tertawa.
"Coba aja sini," tantangku, Xavier benar-benar melempar, otomatis menembus tubuhku, dia bingung karena jurusnya tidak berhasil. "Kok nembus sih? kata Adzkiya bakalan ngusir setan," gerutunya membuatku bingung.
"Gak pengaruh kan? Sini gue pinjam tubuh lo."
"Gak mau, tubuh gue langsung sakit-sakit kalau dirasuki lo, gue udah duga sejak pertemuan kita dikoridor."
"Oke, gimana kalau buat kesepakatan?"
"Ha? Kesepakatan sama arwah?gila."
"Menguntungkan lohhhh," rayuku dengan senyum, membuat dia berpikir sejenak.
"Pikirin sampai besok, jam istirahat pertama gue tunggu di depan lab bahasa," ucapku meninggalkannya.
Besok harinya aku menunggu Xavier sesuai perjanjian, namun sampai istirahat berakhir dia tidak kunjung datang. Aku memutuskan untuk pergi, dua langkah pertama ada seseorang yang menghentikanku. "Tunggu," ucapnya, ku yakini dia Xavier.