Bab 5

4 1 0
                                    

Malam ini Zevanya makan seperti biasanya, sendirian, sambil di temani arwah Kakaknya. Beberapa menit kemudian Mamahnya pulang dari kantor, menemui anaknya yang tengah makan sambil melamun. "Sayang, kalau makan itu fokus ya," nasehat Retha membuat Zevanya kaget, dia tidak sadar bahwa Mamahnya sudah pulang. "Eh Mamah udah pulang," senyum Zevanya merekah, Retha duduk di samping anaknya dan mengelus lembut rambut Zevanya.

Dari arah belakang Papah Zevanya juga pulang, ke dua wanita itu menoleh ke belakang. Zevanya sangat senang Papahnya pulang lebih awal, dia berlari menghampiri Reino. "Papah udah pulang, Papah mau apa? biar aku bikinin sesuatu buat Papah," ucap Zevanya antusias. Reino menatap wajah anaknya tanpa ekspresi, dia berjalan dan berhenti saat hampir sampai di kamarnya," saya mau kamu kembaliin anak saya," balas Reino masuk ke kamar. Mendengar itu, senyum Zevanya menghilang, berubah ekspresi ke sedih. Papahnya masih belum memaafkannya.

Retha yang mendengar hal itu, buru-buru masuk ke kamar, dia mengunci pintu dan perdebatan suami istri tidak bisa dihindari lagi. Lagi-lagi karena aku, batin Zevanya sambil berlari ke luar rumah. Dia ingin sekali ke taman.

Ditaman keadaanya sunyi, Zevanya duduk disalah satu bangku panjang, menikmati udara malam, dan sesekali memegang tangan kedinginan. Tiba-tiba saja, dia merasa tubuhnya hangat, dia memandangi tubuhnya sudah di balut jaket dari belakang. Gadis itu mendapati Xavier di belakangnya dan langsung duduk disampingnya.

"Xavier?lo disini?“ tanya Zevanya heran, karena jarak rumah laki-laki itu dengan taman ini cukup jauh. "Iseng aja," balas Xavier sekenanya, Zevanya hanya diam.

"Apa kak Ano disini?"

"Lo mau bilang sesuatu lagi?"

"Iya.”

"Dia persis di depan lo, jongkok sambil ngeliatin lo yang nahan buat gak nangis."

"Ternyata keliatan ya tahan tangisnya," ucap Zevanya tersenyum, dia menatap lurus ke depan walaupun tidak melihat apa-apa disitu.

"Kakak, rasanya sulit banget hidup tanpa Kakak, apa-apa sendiri, apa-apa harus di pendem, aku tau kalau kakak selalu ada disamping aku dan selalu tau apa yang aku alami, jadi...."

"Jangan khawatir, Zevanya udah gede, gadis 18 tahun ini kuat kok, jangan pernah benci Papah ya Kak.”

Mendengar itu Xavier terdiam, terus menatap Zevano yang mengeluarkan air mata, beralih menatap Zevanya. "Kakak lo ngangguk, dia ngga akan pernah benci Papahnya sesuai permintaan lo," jelas Xavier menggambarkan apa yang saat ini Zevano lakukan. Zevanya tersenyum, dia mengangguk paham, dia berjanji pada dirinya dan kakaknya agar menjadi gadis yang lebih kuat, dia akan lebih berusaha lagi.

Setelah itu, Zevanya pamit pulang, Xavier yang ingin mengantarnya ditolak oleh gadis itu, dia bilang bisa pulang sendiri, apalagi Zevano bersamanya. Dia merasa dirinya berani tanpa ditemani Xavier. Laki-laki itu juga pulang setelah yakin Zevanya sudah sampai di rumahnya, dia menyalakan motornya dan pergi meninggalkan taman.

***
Hari ini di sekolah masih berita yang menyebar masih sama, sosok serba hitam itu berhasil mengantar pelaku pembullyan ke rumah sakit lagi. Zevanya yang biasanya penasaran sekarang tidak lagi, sejak jam pelajaran ke sembilan sampai sekarang dia justru di perpustakaan membantu penjaga perpus memproses buku yang baru saja sampai. Sebenarnya itu bukan tanggung jawab Zevanya, namun saat dirinya ke WC, dia melihat penjaga perpus kesusahan membawa buku-buku baru. Reflek Zevanya membantu dan berakhir harus ijin meninggalkan pelajaran.

"Ini ditaruh mana mbak?” tanya Zevanya kepada penjaga perpustakaan yang sibuk berdandan.

"Taruh gudang ya," jawabnya, Zevanya menurut saja.

Dia merasa sejak tadi dirinya lah yang bekerja, perempuan itu hanya duduk sambil berkaca. Zevanya hanya bisa menghembuskan napasnya panjang, diartikan dia sudah lelah.

Setelah beberapa jam berkutik dengan buku, pekerjaannya selesai, dia duduk di meja baca dan mengeluarkan handphone, menunjukkan bahwa 30 menit  lagi bel pulang berbunyi. Zevanya memilih tidur sejenak di perpustakaan. Tidak membutuhkan waktu lama, dia akhirnya terlelap.

Lima belas menit dia tertidur, dengan cahaya dari jendela yang masuk menyinari wajahnya, namun tidak menganggu aktivitas tidurnya. Seseorang duduk disampingnya, menatap wajah Zevanya yang tertidur, dia bangkit untuk mengambil buku yang dirasa cocok di tegakkan. Dia mengambil halaman tengah, menegakkan buku itu agar cahaya yang menyerang Zevanya bisa dihalang buku. Kemudian dia tersenyum.

Orang itu belum meninggalkan Zevanya, dia terus menatap buku yang menjadi pelindung Zevanya dari cahaya. "Gue akan selalu ada di samping lo, karena senyuman lo, senyuman gue juga."

***
Seperti aktivitas biasanya, Devano malam ini juga pergi ke club malam. Dia berpesta riang sambil ditemani wanita-wanita bayarannya, dia baru saja mendapatkan keuntungan yang banyak dari bosnya. Di saat menikmati minumannya, dia ditelpon seseorang yang memerintahkan dirinya keluar club malam. Itu kurir yang mengantarkan barang yang diinginkan Devano sejak kemarin, dia mengiyakan permintaan itu. Keluar dalam club malam dan pergi ke gang sebelahnya.

Saat benar-benar sampai, dari arah belakang ada benda yang mengenai punggungnya keras, Devano terjatuh karenanya. Dia membalikkan tubuh dan melihat ada sesosok laki-laki mengenakan hoodie abu-abu dan topi serta masker yang memegang tongkat kayu di tangan kanannya. Devano bangun, "Lo siapa?” tanyanya pada sosok itu, namun justru dijawab serangan ke dua tepat mengenai lengannya. Dia meringis kesakitan. Dengan amarah yang memuncak, dia menyerang dengan pisau yang dia bawa, mengayunkannya ke depan, tapi berhasil di hindari sosok itu, menyerang tanpa henti kesana-kemari namun tetap saja hasilnya nihil, bahkan sosok itu bisa melepaskan pisau dari tangan Devano, membuat Devano merasa kesakitan di tangan. Ditendangnya perut Devano, dia meringis kesakitan dan menunduk, bahkan jika bisa diibaratkan, Devano bisa saja mengeluarkan apa yang ada di perutnya saat ini. Sosok itu tidak tinggal diam, dia terus menyerang Devano dengan tongkat yang dia bawa tanpa ampun, sampai benar-benar terjatuh lemas.

Saat dirinya ingin menedang tubuh Devano, tiba-tiba saja tubuhnya tidak seimbang, dia seperti kerasukan sesuatu yang membuat kepalanya terasa pusing, mungkin karena dia melawan. Dia menjadi tubuh Devano, dia tidak mau tubuhnya dikendalikan saat ini, dia terus melawan.

"STOP!!" Bentak sosok itu kepada sesuatu didepannya. "Lo melanggar kesepakatan," ujarnya penuh amarah. Yang didepannya juga menahan amarah, "yang udah lo lakuin bisa buat dia meninggal. Stop disini Xavier," ucap Zevano kepada sosok serba hitam itu.

Sosok itu membuka masker dan topinya, dia benar-benar Xavier, Xavier Alexander. "Lo gak usah ikut campur, ikuti perjanjian aja, lo bisa masuk ke tubuh gue siang hari, di malam hari tubuh ini sepenuhnya milik gue, dan jangan ikutin gue lagi," ucap Xavier meninggalkan Devano yang pingsan. Zevano yang mendengar itu masih diam, sosok Xavier sangat berbeda dari apa yang terlihat di sekolah, dia seperti mempunyai dua sisi dalam dirinya.

***
Berita penyerangan Devano tersebar cepat di SMA Pelita, banyak yang tidak menduga namun tidak sedikit yang memaklumi melihat tingkah kasar Devano selama ini, mereka menyebutnya karma.

Berita itu juga terdengar oleh Andreas yang baru saja pulang dari Amerika setelah perjalanan menemani bisnis Papahnya, dia bahkan izin 1 bulan kepada pihak sekolah, namun tetap diizinkan karena Papahnya sosok yang penting di sekolah ini. Pulang dari bandara, dia tidak langsung ke rumah, dia justru pergi ke club malam menemui seseorang. Club malam ini terlihat ramai dengan banyak orang berjoget, Andreas berjalan ke salah satu meja dengan beberapa perempuan disana. Dia menemui laki-laki yang duduk di tengah.

Dia berdiri di depan meja, mengamati laki-laki itu dari atas sampai bawah, Andreas tanpa aba-aba menarik kerah baju laki-laki itu dari posisinya berdiri, dan dengan sekuat tenaga mendorong ke belakang, membuat meja yang berisi beberapa minuman pecah seketika. Perempuan-perempuan yang sejak tadi duduk di tempat itu memekik ketakutan dan berlari. Andreas mengambil botol minuman yang masih utuh dan memecahkannya tepat dikepala laki-laki itu. "Devano, lo gagal melakukan tugas, menghilang dari hadapan gue, atau gue bunuh lo dan buang jasad lo ke laut," ucapnya mengukir senyuman diwajah.

***
Seminggu sudah kejadian saat Zevano tahu pelaku penyerangan Devano adalah Xavier, seminggu itu juga dia jarang melihat laki-laki itu. Bahkan berharap Zevanya tidak bertemu dengannya. Hari ini, saat jam istirahat pertama, Zevano yang sedang mengikuti Zevanya, dia melihat Xavier sedang menatapnya dari jauh. Sebelum Xavier mendekati Zevanya, lebih baik Zevano yang mendekatinya.

Xavier berjalan menjauhi Zevano, dia berjalan menuju lab bahasa. Zevano hanya mengikuti saja. Xavier berhenti, dia membuka lab bahasa yang tidak dikunci, Zevano tetap mengikuti. Laki-laki yang mengenakan seragam osis itu meletakkan beberapa kertas di meja. Zevano menatap kertas itu. Dibukanya satu persatu oleh Xavier, terlihat banyak foto pembullyan dan mengonsumsi miras. Dia melihat sosok Devano yang melakukan itu semua.

"Ini alasan gue nyerang Devano kemarin, pembullyan yang udah dia lakukan diluar batas, banyak korbannya yang keluar sekolah dan bahkan trauma. Waktu itu gue lihat dia ancam Zevanya, dia juga bilang bakal bully adek lo dan gantiin posisi Alexa, bahkan bisa aja lebih buruk," jelas Xavier membuat Zevano jadi paham sekarang, sebenarnya tujuan Xavier baik, tapi eksekusinya yang dirasa berlebihan. Apalagi selama ini Zevano mengenal Xavier sebagai laki-laki yang baik. Namun Zevano tidak mengeluarkan sepatah kata pun, dia memaklumi Xavier atas apa yang telah dia lakukan. Dia juga tidak akan menjadi sosok yang munafik, kalau saja Zevano tahu Zevanya diancam, mungkin dia juga akan menghabisi habis-habisan laki-laki bernama Devano itu, tentunya meminjam tubuh Xavier. Dan sekarang dia tahu, bahwa orang yang dianggapnya tidak bisa berkelahi, nyatanya sangat menakutkan saat menyerang seseorang, ini semua pasti untuk adiknya.

***
Saat keluar dari lab bahasa, Xavier berpapasan dengan Andreas, sosok itu tersenyum ramah. Xavier diam menatap Andreas. Zevano yang masih mengingat jelas pelaku pembullyan adiknya mengucapkan sesuatu kepada Xavier.

"Lo pacarnya Zevanya ya?” tanya Andreas membuka percakapan.

"Kenapa lo tanya itu?” balik tanya Xavier.

"Kalian sekarang udah bisa hidup tenang, pelaku pembullyan yang utama udah gak ada, Alexa masih kritis dan Devano sekarang udah hilang. Tanpa mereka gue gak akan berani sentuh Zevanya. Jadi nikmati romantisnya sebagai sepasang kekasih," balas Andreas menepuk pundak Xavier dan kemudian pergi. Xavier yang mendengar itu justru was-was, apakah itu ucapan selamat semata atau sebuah peringatan juga?

***

Hari minggu Xavier pergi ke rumah Zevanya, dia membuat janji untuk belajar bersama, walaupun beda kelas, dia terus berusaha meyakinkan Zevanya agar dia mau membantu Xavier. Hari ini mereka belajar tentang matematika, mamanya meminta Zevanya untuk membawa Xavier belajar di kamarnya agar lebih fokus, berakhirlah mereka berdua di kamar Zevanya.

Sebelum belajar dimulai, Zevanya dipanggil Mamahnya ke bawah untuk menyiapkan cemilan, dia menurut dan pergi ke lantai 1. Di dapur, dia menyiapkan beberapa makanan dan es jeruk untuk Xavier. Di arah belakang Papahnya memesan kopi kepada Mamanya, Retha membuatkannya dan berniat mengantarkannya sendiri, namun dicegah oleh Zevanya, "biar aku yang antar Mah," ijin Zevanya mengambil cangkir kopi itu, dia sangat berhati-hati dengan cangkir itu. Hingga karena fokusnya dengan cangkir itu, kakinya tidak sengaja mengenai kaki meja yang membuat cangkir ditangan Zevanya terjatuh, Mama dan Papanya seketika terkejut.

"Ma-maaf Pah, Zevanya berusaha anter kopi itu ke Papah, tapi justru jatuh, Zevanya minta Mamah buatin kopinya lagi ya Pah, ini juga biar Zevanya yang bersihkan," jelas Zevanya yang tidak berhasil membuat ekspresi wajah kesal Papahnya berubah.

"Kenapa kamu selalu mengacaukan semuanya? Itu cangkir kesayangan saya dari dulu, saya tidak terkejut kamu merenggut apa yang menjadi kesayangan saya, bahkan anak kesayangan saya di renggut Tuhan karena kamu," munafik kalau Zevanya tidak merasa sakit hati, sekuat-kuatnya gadis ini, dia pasti akan menangis saat Papahnya selalu membicarakan kematian kakaknya.

"Ma-maaf udah jadi orang yang udah merenggut anak kesayangan Papah, ma-maaf," berulang kali ucapan itu yang hanya berhasil keluar dari mulut Zevanya, dia menunduk menyembunyikan air mata.

Retha yang baru saja mengetahui pertengkaran Suami dan Anaknya langsung menghampiri mereka, dia menengkan Anaknya. "Sudah Mamah katanya sejak awal, kematian Zevano bukan karena Zevanya Pah," ucap Retha membela anaknya.

"Terus karena siapa? dia yang meminta Zevano menjemputnya di gerbang, dia juga yang menyebrang jalan tanpa menoleh kanan dan kiri, semua ini terjadi hanya karena kecerobohan dia SENDIRI!!" Reino menaikkan nada bicaranya, terdengar keras sampai lantai 2.

Xavier yang sejak tadi di kamar Zevanya bahkan mendengar teriakan itu, dia keluar dari kamar dan berjalan mengintip apa yang sebenarnya terjadi.

"Sekarang kamu harus tanggung jawan sama apa yang kamu lakukan, kamu sudah memecahkan cangkir saya, sini kamu," ujar Reino menarik tangan Zevanya paksa, gadis itu tahu persis apa yang akan dilakukan Papahnya saat salah satu anaknya melakukan kesalahan atau kenalakan, dikurung di ruangan tanpa lampu, padahal Zevanya takut ruangan gelap dan sempit. Dia melawan sekuat tenaga.

Xavier yang melihat itu berlari ke bawah, dia mencegah Reino melakukan seuatu kepada Zevanya. Dia memegang tangan Zevanya, tangan kanan yang ditarik Reino paksa.

"Maaf, tapi apa yang dilakukan Om terlalu berlebihan, apalagi dia anak kandung Om sendiri."

***

DUA SISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang