Xavier Alexander
Leukemia yang dialami ku akhir-akhir ini semakin ganas, aku bahkan harus rela dirawat di rumah sakit karena keadaan yang lebih parah. Penyakit ini aku alami saat aku menginjak sekolah SMA, gejala awalnya sering pusing, dan bahkan pingsan saking seringnya.
Hari ini aku duduk di bangku taman, aku sangat bosan dengan suasana rumah sakit dan bahkan rumahku sendiri. Makanya aku menyempatkan duduk sejenak di taman. Aku masih memikirkan Zevanya, setelah kejadian di lab komputer, aku belum bisa sekolah, penyakit ini tiba-tiba menyerang kembali.
Lamunanku berakhir saat seseorang berdiri di depanku, Andreas. Kenapa dia disini?
"Pacarnya Zevanya ya?" selalu kalimat tanya yang dia lontarkan saat bertemu denganku, dan pertanyaanya selalu sama.
Aku berdiri, menatapnya tanpa ekspresi, dia mengeluarkan sesuatu dari jaketnya, dia menujukkan foto mendiang adikku. "Lo kenal dia kan? Dia adek lo?" tanyanya lagi. Aku tetap berpikir positif dan tenang. "Lo kenal sama adek gue?" tanyaku balik tapi juga menjawab pertanyaan Andreas. "Jadi, anak ini yang waktu itu di samping jalan ya, gimana keadaannya? Waktu itu kalau gak salah gue nambrak dia dari belakang," Andreas pura-pura mengingat. "Ahh gue ingat, gue nabrak dia pakai mobil, dia meninggal ya?" ucapnya yang berhasil membuatku terkejut dan marah, aku langsung memukul wajahnya sekeras mungkin, dia kehilangan keseimbangan, namun tetap tersenyum.
"Wahhh, dari respon lo, dia meninggal ya? sorry. Buat gue yang punya orang tua terpandang dan banyak uang, semuanya salah adek lo."
Jadi informasi yang diberikan Zevano kepadaku tidak keliru, Arkana meninggal bukan karena dia yang menabrakkan diri ke mobil, tapi mobil itu yang telah menabrak Arkana.
"Itu kegunaan orang tua yang kaya dan terpandang, anaknya melakukan kesalahan tapi korban yang disalahkan, waktu itu gue iseng kendarain mobilnya, eh nancap gas terus kena ke adek lo, maaf ya," tidak ucapan maaf itu bahkan terdengar ejekan ditelingaku, aku yang mendengar itu berniat melayangkan serangan lagi di perut atau wajahnya, tapi tiba-tiba saja kepalaku sakit bukan main, aku menunduk bahkan terduduk lemas. Andreas yang melihatku hanya tersenyum, kemudian meninggalkanku sendirian ditaman.
***
Xavier pergi ke makam adiknya, tertulis Arkana Bramantya. Dia menatap lekat-lekat makam itu. Lalu menangis dalam diam, dia menutupi tangisannya dengan menunduk.
"Tunggu kakak."
"Arkana."
***
Andreas malam ini pergi ke club langganannya, dia memesan beberapa minuman untuk dirinya dan teman-temannya. Dia merasa tubuhnya lebih baik, padahal tadi di taman sempat kena pukulan Xavier.
"Malam ini, gue yang traktir kalian, minum deh sepuasnya."
Wuuuu, sorak semuanya bahagia. Andreas merasa senang karena telah mengatakan kejadian yang melibatkan Arkana kepada kakanya. Namun Andreas masih punya satu utang kepada Xavier, yang melibatkan Zevanya.
***
Pagi ini Xavier pergi ke sekolah, namun bukan untuk sekolah. Dia hanya ingin mencari keberadaan Andreas. Ternyata laki-laki yang dicarinya berada di kantin. Dia berjalan cepat mendekati target dan langsung menghajar wajah Andreas. Dengan satu pukulan membuat dirinya terjatuh. Siswa-siswa yang ada di kantin terkejut dengan apa mereka lihat. Xavier yang sudah lama tidak ke sekolah akhirnya muncul juga.Dia menarik kerah baju Andreas, Xavier sangat marah. "Lo dalang pelaku pembullyan Zevanya, maksud lo apa kirim pesan itu ke gue?"
Andreas tersenyum, "udah sampe pesannya, gue yang suruh Alexa dama Devano buat bully Zevanya, kalau mereka bisa sakitin Zevanya, bayarannya bisa puluhan ju..."