Bab 2

1.8K 300 7
                                    

Happy reading, semoga suka.

Vote dan komen yg banyak ya.

Luv,
Carmen

________________________________________

Seminggu kemudian, Elise, pada pukul setengah enam pagi yang dingin dan berembun, ia membuka pintu kafe dan masuk ke dalam untuk memulai tugas paginya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seminggu kemudian, Elise, pada pukul setengah enam pagi yang dingin dan berembun, ia membuka pintu kafe dan masuk ke dalam untuk memulai tugas paginya. Tidak sampai beberapa menit lamanya, pria yang dipikir Elise tidak akan pernah dilihatnya lagi kembali melangkah ke dalam. Ia kembali merasakan hal yang sama, bagaimana kedua puncak payudaranya mengetat dan tubuh bawahnya terbakar berdenyut hanya karena menatap mata pria itu. Elise bahkan berpikir untuk mencubit dirinya sendiri demi mencegah tubuhnya secara refleks melemparkan diri pada pria itu.

Heh, sungguh memalukan!

“Selamat pagi, Arthur,” sapanya ramah, sambil tersenyum dan berusaha bersikap biasa. “Satu gelas kopi hitam biasa?”

“Kau mengingat namaku, Elise,” jawab pria itu sambil memamerkan senyum menawannya dan memperlihatkan sederet gigi putih rapinya. “Dan juga jenis kopi yang pernah kupesan.”

Dan bodohnya, jantung Elise berdetak agak kencang.

“Kau juga mengingat namaku,” ujar Elise kemudian. “Dan sudah menjadi tugasku untuk mengingat sebanyak mungkin tentang pengunjung kafe ini.”

“Tentu saja aku mengingat namamu. Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya? Minggu lalu, satu-satunya hal yang memenuhi benakku adalah seorang wanita cantik berambut pirang dengan mata biru jernih yang kutemui di kafe ini. Aku baru tiba di sini dua hari lalu dan aku langsung kembali ke sini kemarin pagi, tapi sayangnya kau tidak ada di sini.”

Benarkah? Benarkah apa yang dikatakan oleh pria itu? Benarkah dia memikirkan Elise sepanjang minggu ini? Karena Elise juga merasakan hal yang sama. Pengakuan pria itu hanya membuatnya berharap… “Kemarin memang hari liburku.”

“Aku tahu,” jawab Arthur lagi. “Wanita yang menggantikan tempatmu sudah memberitahuku. Karena itulah aku menyetel alarmku untuk pagi ini karena aku ingin bertemu dan mengobrol denganmu sebelum kau mulai sibuk.”

“Oh?” Elise tidak tahu harus berkata apa untuk merespon ucapan tersebut.

“Ya, Elise, jujur saja, aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Jadi aku harus kembali lagi ke sini untuk menemuimu. Apakah kau bersedia membuatku menjadi pria yang paling berbahagia dengan menerima ajakan makan malamku nanti?”

Sejenak Elise mencerna kata-kata pria itu. Tapi dilihat dari sisi mana saja, maksud pria itu sudah jelas. Arthur sedang mencoba mengajaknya berkencan. Sesaat ia nyaris menari kegirangan. Tapi dengan cepat Elise menguasai diri dan memberi pria itu seulas senyum kecil. “Baiklah.”

“Baiklah?”

“Baiklah, aku bersedia makan malam denganmu, Arthur.”

Wonderful!” ucap pria itu senang. Elise bisa melihat raut bahagia mengisi setiap gurat di wajah tampan itu. “Bolehkah kau memberiku alamatmu dan aku akan menjemputmu jam tujuh nanti? Tentu saja, jika kau tidak keberatan.”

Elise tidak perlu lagi berpikir dua kali. Ia memberikan alamatnya pada pria itu berikut beberapa instruksi untuk menemukan bangunan yang tepat. Dan sebelum mereka sempat barbincang lebih banyak, seorang pria yang lain kembali datang dan menyela percakapan mereka.

Boss, sudah waktunya kita berangkat, kalau tidak, kita mungkin akan tiba terlambat.”

Kembali, Arthur mengucapkan selamat tinggal dan berjanji akan mendatangi flat Elise jam tujuh malam ini. Setelah kepergian pria itu, Elise seolah melalui hari itu dalam kabut. Sebagian dari dirinya sangat bersemangat karena akan berkencan dengan pria paling memesona yang pernah ditemuinya sementara sebagian dirinya yang lain berkata bahwa ia cukup gila untuk setuju keluar dengan seorang pria yang baru saja dikenalnya. Tapi ketertarikan yang dirasakannya terhadap Arthur memenangkan perdebatan. Sebelum jam tujuh, Elise sudah menemukan dirinya sendiri menatap bayangannya di depan cermin. Rambut pirangnya sengaja dibiarkan tergerai, ia tidak mengenakan riasan wajah yang berlebihan, hanya sedikit perona pipi dan pewarna bibir yang lembut. Elise mengenakan salah satu busana terbaiknya, blus putih dengan rok biru lembut sepanjang lutut. Ia melingkarkan syal di lehernya untuk menjaga tubuhnya tetap hangat dan mengenakan sepatu boot tinggi.

Puas dengan pantulannya sendiri, Elise merasa cukup percaya diri. Ia tampak cukup menarik dan sepadan dengan pria itu. Tersenyum pada dirinya sendiri, Elise lalu berbalik dan meraih tas bahu putihnya dan segera berjalan keluar kamar.

Sweet SeductionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang