5. Teman Lama

32.5K 3.9K 240
                                    

Anin menemukan ruangan ber-wallpaper serat warna abu ketika masuk. Beberapa pajangan, lukisan abstrak pada dinding, sofa biru muda ukuran besar, juga rak putih penuh terisi buku di salah satu sisi ruang. Terlihat juga mini kitchen dari ruang tamu ini. Tanpa pembatas apapun. Di sebelahnya adalah sebuah kamar berpintu tertutup.

Seorang pria berpakaian serba panjang warna hitam sedang duduk di sofa tersebut. Seakan bersiap menyambut Anin datang. Matanya fokus membaca buku lumayan tebal di tangan. Sedangkan kakinya tertutup rapat oleh selimut rajut.

Anin merinding ketika tatapan mereka bertemu. Hanya sekitar 2 detik Sagala mengangkat kepala, pandangan mereka bersiborok, lantas terputus ketika pria itu kembali pada bacaannya.

Apa yang harus Anin lakukan untuk menyapa?

Nyatanya selama setahun Anin mengajar Chan dulu, tegur sapa yang Anin berikan bahkan bisa dihitung jari. Apalagi di kampus. Sejak Anin  mempermalukan diri sendiri sebanyak 3 kali di depan Sagala, sebisa mungkin Anin membatasi interaksi keduanya.

Takutnya Sagala marah.

Takutnya Anin makin sakit hati diberondong kata-kata pedas.

Lebih parah lagi, Anin tidak bisa membayangkan jika mesti jadi cemoohan di antara circle Sagala yang isinya cowok-cewek keren temannya di kampus.

"Kok diam-diaman aja sih? Kayak masih musuhan?"

"Kami—"

"Gue—"

Kalimat mereka terhenti di kata pertama. Sanggahan yang tercetus bersamaan hanya semakin menambah canggung tatapan keduanya.

Kami nggak musuhan.

Gue nggak musuhan. Cuma waspada.

Oh, jika saja Bu Roro tidak langsung tergelak renyah, mungkin suasana sekarang lebih senyap daripada kuburan pada malam hari.

"Ya ya ya ... kami percaya," imbuh Bang Regi yang bersandar santai pada pintu. Tangannya disembunyikan di saku. "Duduk, Nin."

Anin mengangguk. Namun, tubuhnya bergeming. Badan setinggi 160 cm itu baru bergerak setelah Bu Roro sedikit mendorong dan mengajaknya menempati bangku di seberang sofa Sagala.

Lagi, Anin kehabisan ide mau ngapain.

"Baca apa?"

Satu pertanyaan akhirnya muncul setelah Bu Roro tersenyum pada Anin yang seolah meminta bantuan untuk memecah keheningan.

Sagala tak menjawab. Anin menepuk jidatnya sendiri. Garing banget pertanyaannya.

Bisakah Bu Roro juga membantunya menaikkan suhu AC di kamar ini? Ini sih suhu kutub.

Kombinasi sikap tidak ramah Sagala dan suhu ruangan, bikin Anin panas dingin kebelet pipis. Perutnya bergejolak mulas. Anin paling tidak suka momen begini. Rasanya seperti menunggu putusan hakim atas kesalahannya.

"Saga? Anin tanya. Jawab, Nak ..." perintah Bu Roro lembut khas perempuan Jogja.

"A Gold Digger in Every Woman karya Marc Garvin."

Suaranya memang tenang. Tapi hati Anin langsung dilanda tsunami. Porak poranda.

Sialan! Dia nyindir!

Anin langsung pening. Wajahnya pucat pasi. Reflek, tubuh Anin maju memutari meja dan merebut buku di tangan Sagala. Anin masa bodoh meskipun pria itu memberi tatapan protes. Dilihatnya cover buku. Anin pikir Sagala sengaja menyindirnya. Ternyata? Beneran nyindir. Dia benar-benar membaca buku itu.

Saga Anin (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang