Bab 6

436 66 3
                                    

Sekali lagi, hanya langit-langit kusam yang dilihatnya. Alvin mengerjap beberapa kali sebelum mendesah kasar. 'aku masih disini...?'

Ya, dia masih disini, Di atas kasurnya yang keras. Sudah hampir sebulan ia berada di bumi. Masih terasa aneh baginya untuk beraktivitas seperti orang normal pada umumnya.

Dulu dia adalah seorang pengembara. Sudah sangat berpengalaman dalam berbagai situasi mengancam jiwa. Tapi tidak melakukan apa-apa seperti sekarang membuatnya bosan setengah mati.

Thomas dan Milles disibukkan dengan tugas akademi (kuliah) mereka. Jadi beberapa hari ini mereka jarang terlihat atau bahkan menemuinya.

Sepulang bekerja, Alvin akan mandi dan berbaring sambil memikirkan hutang, terkadang membeli bir dan makanan seadanya. Tanpa berburu monster, tanpa menjelajah, dan tanpa makan daging bakar kesukaanya.

Dia bosan.

Yang selalu dilakukannya hanyalah makan, tidur, buang air, dan bekerja sampai sore. Sebuah kehidupan tanpa makna yang melelahkan

Alvin memainkan helaian rambut halus bak sutra ditangannya. Memandangi warna rambutnya yang sangat mencolok, membuat matanya menyipit heran.

Bisa dipastikan kalau itu adalah warna asli. Tapi memangnya ada orang dengan warna rambut cerah seperti miliknya?

Alvin mencabut sehelai rambutnya hanya untuk mengamatinya lebih jelas. Ia memejamkan matanya, sepertinya ada yang salah dengannya.

Jelas-jelas di dunia ini tidak ada orang dengan warna rambut yang unik. 'Apa ini kelainan genetik?'

Tentunya ini adalah hal yang aneh. Bisa-bisa ia dianggap makhluk jadi-jadian. Membayangkan orang-orang akan mengusir atau lebih buruknya lagi membunuhnya, sudah membuat bulu kuduknya meremang.

"Haa... Apa ini adalah karma karena di kehidupan sebelumnya aku terlalu banyak membunuh monster?" Rutuknya pada dirinya sendiri.

Pusing memikirkannya, Alvin lantas turun dari kasurnya. Sambil bersandar pada jendela, ia melihat bangunan-bangunan kusam yang saling berdempetan. Di bawah apartemennya, nyalak anjing liar terdengar sampai ke telinganya.

Pria muda itu termenung disana. Berpikir tentang bagaimana dirinya bisa bertransmigrasi sampai ke bumi.

"Haah..." Alvin mendesah kasar. 'Ini benar-benar tidak masuk akal.'

Di Bumi tidak ada sihir, hanya teknologi serba canggih yang ada. Tidak ada jalanan batu dan rumah-rumah kayu. Hukum berjalan dengan sangat ketat, pembunuhan yang dulu sering ia lihat hampir tidak ada. Bahkan perbudakan telah dihapus.

Intinya, ini adalah dunia yang damai, yang sama sekali tidak cocok dengan Alvin. Tidak melakukan apa-apa sehari saja sudah membuatnya bosan setengah mati.

Dia terkadang heran mengapa Thomas Lebih senang rebahan seharian daripada bergerak.

"Apa rambut ini ada kaitannya dengan kedatanganku kesini?" Jemari lentiknya mengetuk-ngetuk kusen jendela.

Alvin mulai berspekulasi. Dulu dia juga menguasai sedikit tentang sihir. Bisa dibilang, dulunya ia adalah penyihir, penyihir level rendah tentunya.

'Apa kekuatanku mempengaruhi tubuh ini?'

Lama Alvin termenung di sana. Sampai kemudian pemuda tersebut memutuskan untuk jalan-jalan, sekaligus untuk mencari tahu dugaannya.

Senja itu, cahaya jingga membanjirinya. Langit merah bak lukisan seolah menyelimutinya. Surai sakuranya bermandikan cahaya senja hingga tampak seolah-olah itu berwarna oranye.

**********************


Langkah kakinya membawanya ke taman sepi di pinggiran kota. Udara dingin menggelitik kulitnya, membuat Alvin sesekali memeluk lengannya.

Transmigrasi Sang PengembaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang