Kelelahan dengan cepat mendera. Sekujur tubuh yang mulai sakit dan sulit digerakkan menjadi semakin menjengkelkan setiap detiknya.
Alvin jatuh bahkan sebelum mencapai kasur. Rintihan keluar dan ia hampir pingsan di tempat. Dengan menopang tubuhnya pada lengan, ia merubah posisinya menjadi terlentang.
Sial...aku lupa...disini hanya ada secuil mana...
" Hah...hahh..." bernafas terengah-engah seperti habis tenggelam, matanya sejenak kehilangan fokusnya.
Aku...Tidak bisa...
Dalam pandangannya, dunia seakan kabur. Berkedip bak kunang-kunang di Padang rumput. Nafasnya tercekat dan cahaya redup itu berangsur-angsur padam.
...Bernafas.
.
.
.
Terlihat ombak penuh warna melanglang buana di sekitarnya. Kegelapan yang melingkupi sekeliling tiba-tiba seolah tanpa arti.
Sekilas, ribuan dawai berkelir kehijauan menampakkan dirinya sejauh mata memandang. Berporos padanya yang kini terapung bagaikan berada dalam kedalaman samudra.
Ribuan benang yang membentuk sirkuit-sirkuit tersebut nampak rapuh dengan cahayanya yang perlahan sirna.
Setelah kegelapan pudar, giliran cahaya yang menyambut.
.
.
.
Ketika cahaya menembus retinanya, Alvin seketika terbangun dengan tubuh lemas. Nafasnya memburu sehingga dadanya naik turun dengan panik.
Setelah sedikit merintih lesu, Alvin bangkit dari lantai. Karena jarum jam yang telah sampai pada angka 05.00 am dini hari, dia spontan berdiri dan berjalan tergopoh-gopoh ke atas kasur yang memang bersebelahan dengan jendela.
Pemuda itu duduk bersila dan menormalkan deru nafas serta degup jantungnya yang masih bertalu kencang. Merasakan aliran tipis mana nya, ia sempat tercekat, hampir kehilangan nafasnya.
Ini buruk... Aku nyaris mati ditempat!
Alvin menatap telapak tangannya frustasi disertai senyuman kecut yang terasa pahit di hatinya.
Mungkin kemarin dirinya terlalu memaksakan diri. Hampir sebagian besar mana nya telah digunakan sementara mana alam di dunia ini sangat tipis.
Akibatnya, tubuhnya tidak dapat menanggungnya dan hampir runtuh detik itu juga. Alvin menarik nafas dalam dan langsung membuka jendela dengan kasar. Membiarkan angin masuk kedalam.
Di dunianya, setiap benda dan kehidupan memiliki energi murni yang dinamakan "mana". Mana itu memberikan vitalitas kepada setiap makhluk. Jika mana habis atau tiba-tiba menghilang, vitalitas setiap makhluk akan melemah dan pada akhirnya menemui akhirnya...
Dengan kata lain KEMATIAN.
Mengingatnya sama sekali tak membuat Alvin tenang. Ia menggertakkan gigi dan memukul kusen jendela.
Mimpinya seolah-olah memperingatkannya supaya mengurangi konsumsi mana nya.
Jika tidak...
****************
Setelah menenangkan diri, Alvin keluar dari kamar itu dan bersiap menunggu Milles menjemput.
Kebetulan, Alvin hanya akan menginap tiga hari sebelum kembali ke pinggir kota dimana selama ini dia tinggal. Dua hari ini ia habiskan hanya di rumah lama Thomas.
Selama waktu itu, ia tidak bisa melupakan kejadian saat dirinya hampir mati di tangan seorang pria tak dikenal, yang sialnya juga adalah teman One Night Stand nya.
Ketika Alvin berbaring di kasur milik Thomas, ia lagi-lagi memikirkannya.
Sebenarnya... Penampilan pria itu tidak buruk. Kali ini setelah ia lebih mengamatinya, ia menyadari beberapa hal. Orang itu memiliki bulu mata yang panjang dan alis yang tebal, juga mata yang tajam.
Selain itu garis rahangnya tegas dan postur tegaknya memiliki tampilan orang yang bermartabat. Sama sekali tidak seperti bajingan walau pada kenyataannya memang begitu.
Terus terang itu adalah tipe idealnya. Atau lebih jelasnya, dia iri. Sangat iri.
Sialan.
Begitu Alvin sibuk menggerutu dalam hati, Thomas berteriak dan menarik tubuhnya kembali terduduk.
"Sudah kubilang jangan tidur saat rambutmu basah, Alvin!"
Mendengar raungan marah itu Alvin mendelik. "Baiklah baiklah... Apa yang kau mau aku lakukan?"
Thomas terdiam selama tiga detik sebelum kembali meraung. Kali ini bahkan lebih keras.
"Kau masih bisa bertanya apa mauku?! Cepat keringkan rambutmu!"
Alvin melirik tanpa minat pada hair dryer di atas meja. Benda buatan manusia yang satu itu sedikit menyeramkan. Itu jelas seperti akan membakar kulit kepalanya!
"Tidak mau!"
Pernyataan itu membuat Thomas makin geram. Dia menarik Alvin dan membantunya mengeringkan rambut meskipun Alvin memberontak.
Begitu suara berisik sampai ke telinga Milles, pemuda tersebut hanya sanggup menghela nafas. Kenapa mereka selalu membuat keributan...?
Sambil menyeduh kopi, Milles mendengarkan suara-suara yang terdengar ambigu dari kamar Thomas.
10 menit kemudian Thomas keluar dari kamar seraya menggerutu. Ketika pandangan mereka bertemu, Milles tak bisa lagi menahan kekehannya.
"...Apa?"
"Bukan... Bukan apa-apa. Kenapa kamu seperti habis memandikan kucing, penuh cakaran."
Thomas tersentak. Karena dia memakai kaos tanpa lengan, ia spontan melihat kondisi lengannya yang penuh garis merah seolah pembuluh darahnya pecah.
"Berisik!"
Pfft... Milles yang sedang menyesap kopi terkekeh dalam hati.
"Apa Alvin akan tidur?" Milles menaruh cangkir kopinya setelah berucap.
Thomas duduk di samping meja makan kemudian menyilangkan tangan. Berbicara dengan nada kesal, "Siapa tahu? Dia benar-benar seperti orang udik! Bagaimana bisa bocah itu tidak tahu caranya menggunakan hair dryer?!"
Milles mendengarkan dengan penuh minat cerita Thomas. "Bukankah tidak semua orang juga punya hair dryer, Thommy. Kamu terlalu sensitif."
"Persetan! Dia hampir membakarnya!"
Milles langsung tertawa terbahak-bahak. Namun ditengah tawanya itu, Alvin tiba-tiba muncul entah sejak kapan.
"Sampai kapan kau akan terus tertawa?"
"Oke oke, aku berhenti. I'm sorry~"
Alvin berdecih lalu memalingkan muka. Netra Ambernya tak sengaja melihat kearah luar jendela, dan kebetulan langsung terbesit sebuah ide.
"Daripada kalian sibuk memanggilku udik, kenapa tidak mengajakku berkeliling?"
"Ah, benar juga..."
Alvin bisa mendengar Milles bergumam, ia diam-diam tersenyum puas. Lagi pula dia juga tidak ingin tersesat untuk kesekian kalinya.
Jadi atas ajuan Alvin, mereka sepakat untuk pergi.
Namun di tengah jalan, entah kenapa firasat Alvin menjadi jelek. Bahkan lebih buruk dari waktu ke waktu.
Ini seperti menyiratkan bahwa masalah yang lebih besar akan tiba.
Alvin mengerutkan keningnya. Merasa aneh. Tapi tak lama kemudian ditepisnya intuisi itu tatkala Milles menarik lengannya.
"Jangan melamun disana. Ayo bersiap."
"Mn."
Ia menipiskan bibirnya. Ah, sudahlah. Lupakan saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Sang Pengembara
Actionalvin, seorang pengembara dari dunia lain tiba tiba bertransmigrasi ke dunia modern setelah mati tersambar petir. Bangun-bangun dirinya sudah tergeletak di jalan sepi dengan tubuh penuh luka. Bajingan mana yang berani memindahkanku ke alam lain?! ...