lima

592 17 0
                                    

Bela menoleh ke belakang. Melihat Angga yang tengah tidur memunggunginya. Kepalanya kembali berbalik lagi menghadap ke depan. Tak terasa air matanya kembali menetes. Entah, kenapa Bela merasa bersalah dengan Angga. Apa perkataannya tadi itu keterlaluan?

Tadi Angga sempat keluar rumah entah kemana. Bela sempat merasa panik, takut Angga akan berbuat yang aneh-aneh. Namun, tepat pukul 12 malam Angga pulang. Sayangnya, sikap Angga menjadi dingin ke Bela. Tidak ada sapaan atau sekedar basa-basi dari mulut Angga. Bela sendiri memilih diam. Walaupun sejujurnya dia merasa tak nyaman dengan perubahan sikap Angga. Tapi.. ini kan yang Bela mau? Seharusnya dia merasa senang dengan hal ini.

Bela berusaha memejamkan mata. Berusaha menyingkirkan segala hal yang sedang mengganggu ketenangannya. Tak beda jauh dari Bela. Angga pun diam-diam tengah gelisah. Hatinya merasa sakit, kecewa, dan jengkel, namun dia juga tidak tega dengan Bela. Angga memilih untuk mendiami Bela. Mungkin mulai detik ini, sikapnya akan dingin ke Bela. Ini yang Bela mau. Angga akan berusaha menuruti keinginan istrinya itu. Walaupun sebenarnya hati Angga menolak. Namun, Angga sudah cukup merasa bersalah karena telah merenggut masa depan Bela.

Bela masih remaja. Masa depannya masih panjang, tidak seperti dirinya yang sudah tua bangkotan. Harusnya Angga mengerti itu.

Angga menoleh kebelakang menatap Bela yang tengah memunggunginya. Ingin rasanya Angga mengusap lembut kepala Bela dan meminta maaf kepadanya. Namun, sepertinya Bela lebih suka jika Angga menjauh darinya, pikir Angga

***

"Astaghfirullah!" Bela terbangun dari tidurnya. Matanya menatap tubuhnya yang masih memakai mukena. Setelah sholat subuh tadi Bela langsung tidur tanpa melepas mukenanya terlebih dahulu. Jam menunjukkan pukul delapan. Namun, hari ini hari Minggu. Jadi Bela bisa santai-santai.

Bela bangkit dan melepas mukenanya. Samar-samar hidungnya mencium aroma masakan yang menggoda. Perutnya keroncongan. Bela membuka pintu kamar dan berjalan menuju dapur. Sesampainya di dapur, langkah Bela terhenti saat matanya melihat Angga tengah sibuk berkutat dengan peralatan dapur. Posisi Angga membelakangi Bela. Bela diam. Bingung mau berbuat apa. Apakah dia harus mengajak Angga bicara? Namun, sekarang hubungannya dengan Angga sedang tidak baik-baik saja.

Lalu, apa Bela langsung saja duduk di kursi makan, menunggu masakan Angga selesai dimasak? Tidak! Bela gengsi!

Bela mengabaikan perutnya yang sudah keroncong. Bela berjalan meninggalkan dapur. Namun, baru tiga langkah kaki Bela berjalan. Suara Angga menghentikannya...

"Makanlah!" Perintah Angga. Bela sedikit merasa ngeri mendengar suara Angga yang terdengar dingin, tegas, dan acuh. Bela berbalik menghadap ke arah Angga yang tengah meletakkan tumis kangkung ke piring yang ada di meja makan. Bela meneguk ludahnya kasar. Raut wajah Angga tampak tak bersahabat. Tidak ada senyum didalamnya dan  Bela merasa takut.

Bela ingin segera berlari menuju meja makan dan menyantap habis semua masakan yang Angga buat. Namun, lagi-lagi dia masih mempertahankan gengsinya yang selangit. Bela tak merespon apapun. Dia berlari melanjutkan langkahnya, meninggalkan Angga. Jauh dilubuk hati Bela, berharap agar Angga memanggilnya dan memohon agar dia mau makan. Namun, nihil! Bahkan sampai Bela sampai di kamar, Angga sama sekali tak memanggilnya.

"Sialan! Dasar suami gak peka! Seneng tuh pasti aki-aki ngeliat istrinya kelaparan!" Gerutu Bela saat sampai didalam kamar.

Angga mengangkat satu alisnya. Menatap Bela yang berjalan meninggalkannya. Sejujurnya, Angga merasa khawatir melihat Bela yang tak mau sarapan. Kenapa gadis itu tidak mau menjaga kesehatannya?. Angga berjalan untuk menyusul Bela. Namun, langkahnya kembali terhenti. Bela menginginkan agar dirinya menjauh darinya!. Akhirnya Angga berjalan mundur dan duduk di kursi kembali dengan perasaan yang campur aduk. Antara kesal, khawatir, sekaligus jengkel terkumpul menjadi satu.

Kamu Jodoh Saya!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang