Enam

572 18 0
                                    

Bela menarik nafasnya dalam-dalam. Sudah 5 menit gadis itu mengumpulkan keberaniannya untuk membuka pintu kerja Angga. Bela takut. Namun, dia juga merasa bersalah dengan Angga. Dia ingin meminta maaf kepada suaminya yang sedang dalam mode marah. Tapi nyali Bela masih belum terkumpul seratus persen.

"Bismillah" Bela membuka pelan pintu itu. Dengan langkah yang terasa berat, Bela berjalan mendekati kursi kerja Angga yang posisinya sekarang sedang membelakangi dirinya. Bela yakin Angga sedang duduk di kursi itu.

Bela menarik nafas dalam-dalam sambil mengumpulkan keberaniannya. Bela siap menerima konsekuensi apapun. Jika Angga akan marah padanya, Bela akan menerima  walaupun berat.

"P-pak" Suara Bela terdengar sedikit terbata-bata.

Sunyi.

Tidak ada sahutan apapun dari Angga. Bela mengelus dadanya. Sepertinya Angga sedang marah besar.

"Saya minta maaf. Saya salah. Tapi..Bapak juga salah, Kok. Eh enggak deng. Saya yang salah. Salah saya banyak banget. Salahnya Bapak cuma sedikit. Eh?" Bela sedikit aneh dengan kata-katanya yang terdengar ngalor ngidul.

Masih belum ada sahutan dari Angga. Alis Bela mengerut. Kemudian Bela berjalan mendekat ke kursi kerja . Matanya membulat saat tahu bahwa ternyata Angga sedang tidak ada di kursi itu. Tapi, baguslah, setidaknya Angga tidak mendengar ucapan maafnya tadi yang terkesan Gak niat.

"Bela".

"Astaghfirullah!" Bela mengelus dadanya. Sungguh dia merasa terkejut saat tiba-tiba mendengar suara Angga dari belakangnya. Bela berbalik kebelakang, menatap Angga dengan heran. Sejak kapan laki-laki itu ada dibelakangnya?

"Ngapain disini? Keluar sana!" Ujar Angga dengan ekspresi wajah yang sangat datar.

Bela tak menyahuti perkataan Angga. Gadis itu pun tak merasa marah karena Angga terang-terangan mengusirnya dari ruang kerja laki-laki itu. Bela menatap lurus wajah Angga. Hatinya merasa tercubit saat melihat mata Angga yang memerah. Bela yakin bahwa Angga habis menangis.

Bela mendekat ke tubuh Angga. Jantungnya kembali bergemuruh tak karuan. Namun, Bela mengabaikan itu. Tatapan Bela beralih ke tangan Angga yang tampak memerah. Pasti gara-gara tadi laki-laki itu memukul meja cukup keras. Bela meraih tangan itu dan mengusapnya lembut.

"Sakit, ya?" Tanya Bela. Suaranya sangat lembut, sampai Angga sedikit tercengang mendengarnya.

Angga tak menjawab perkataan Bela. Namun, tatapannya masih mengarah pada wajah Bela.

"Ayo" Bela membawa Angga keluar dari ruangan itu. Tangannya menuntun Angga untuk masuk kedalam kamarnya.

Bela duduk di tepian ranjang. Sedangkan, Angga sudah duduk selonjoran di atas ranjang dengan punggungnya yang ia senderkan ke senderan ranjang. Bela bangun dari duduknya, mengambil kotak P3K yang tersimpan di rak. Saat sudah mendapatkan apa yang ia cari. Bela kembali menghampiri Angga. Tangannya dengan lembut dan telaten mengolesi salep di tangan Angga. Sesekali Bela meniup-niup tangan Angga.

Angga diam. Namun, jantungnya berdetak tak karuan. Baru kali ini Bela bersikap selembut ini kepadanya. Angga merasa senang bukan main. Hatinya menghangat melihat Bela yang sibuk mengusap tangannya.

"Maaf..." Cicit Bela lirih.

Angga menyunggingkan senyum simpulnya "Gak papa" Ucapnya lembut.

"Saya salah" Bela menundukkan kepalanya.

"Saya tahu".

"Saya nakal, ya?" Tanya Bela sembari beralih menatap manik mata Angga.

Angga mengangguk "Banget" Ujarnya.

Bela semakin cemberut "Maaf..".

Angga menarik tangannya dari tangan Bela. Ditatapnya manik mata Bela yang perlahan mulai menitikkan air mata. Tangan Angga mengusap air mata Bela yang mulai membasahi pipi mulus gadis itu. Sampai akhirnya, tangan Angga beralih bergerak menangkup kedua pipi Bela.

"Kamu nakal, keras kepala, susah diatur. Tapi..." Angga tak melanjutkan ucapannya. Namun, kepalanya bergerak mendekat ke kepala Bela.

Bela diam. Namun, jantungnya kembali bergemuruh. Tatapannya masih tertuju kepada Angga yang semakin bergerak mendekat ke tubuhnya. Kali ini Bela tak menolak saat Angga menempelkan bibir laki-laki itu ke bibirnya. Entah, setan mana yang merasuki pikiran Bela. Gadis itu tiba-tiba menutup kedua matanya. Membiarkan bibir Angga menempel ke bibirnya.

Angga tersenyum tipis melihat Bela yang menutup mata. Apalagi kali ini gadis itu tak menolak sentuhannya.

Angga diam. Bibirnya tak bergerak didepan bibir Bela. Mendadak Angga merasa bingung. Jiwa laki-lakinya ingin meraup habis bibir Bela. Namun, hatinya merasa takut jika Bela masih belum siap untuk mendapatkan sentuhan yang lebih dalam darinya.

Dari jarak yang sangat dekat, tangan Angga mengusap rambut Bela yang terlihat berantakan. Sedetik kemudian, Angga menjauhkan wajahnya dari wajah Bela. Tangan yang sebelumnya sibuk mengusap rambut Bela, kini beralih mengusap lembut bibir Bela.

Bela membuka matanya. Merasa cukup kecewa saat tahu Angga menjauhkan wajahnya. Bela bingung, Padahal kemarin-kemarin dirinya lah yang menolak keras untuk disentuh oleh Angga. Namun, kali ini, tepatnya saat Bela menangkap manik mata indah Angga. Gadis itu merasa yakin untuk menyerahkan tubuhnya ke suaminya. Selain itu, Bela tak munafik bahwa tubuhnya merasa penasaran dengan kegiatan-kegiatan intim. Bagaimana rasanya? Bagaimana caranya? Bela ingin tahu.

Angga menatap dalam mata indah Bela. Dapat ia tangkap mimik wajah kecewa yang ada di wajah Bela. Kecewa? Kenapa harus kecewa? Bukankah Bela belum siap untuk Angga sentuh?

"Pak..." Panggil Bela. Suaranya terdengar lirih dan tenang. Namun, meskipun begitu, Angga masih mampu menangkap rasa kecewa dari suara Bela.

"Hm?" Gumam Angga. Tangannya masih setia mengusap lembut bibir Bela.

"Saya mau dicium".

Angga membelalakkan matanya. Merasa terkejut dengan apa yang barusan dia dengar. Benarkah ini Bela?

"Maksud kamu?" Tanya Angga bingung.

"Bapak gak mau nyium saya? Kenapa? Karena saya belum sikat gigi? Iya?"

Angga semakin membulatkan matanya. Bela sungguh sangat polos, menurutnya. Mana mungkin laki-laki normal seperti Angga akan menganggurkan bibir Bela yang membuat sesuatu ditubuhnya nyut-nyutan tak jelas. Apalagi hanya karena alasan gadis itu belum sikat gigi. Ya ampun, Bela!

Angga tak menjawab perkataan Bela. Namun, tanpa aba-aba. Angga melanjutkan aksinya.

Beberapa menit kemudian Angga sedikit menjauhkan wajahnya dari wajah Bela. Ditatapnya manik mata Bela yang tengah menggembang bulat.

"Maaf saya sudah marah," Tangan Angga menyelipkan anak rambut Bela ke belakang telinga gadis itu.

Bela tak bergeming. Namun, tatapannya begitu dalam menatap manik mata Angga. Tatapan itu begitu dalam. Entah, kenapa wajah Angga begitu menarik perhatian Bela. Bukan hanya karena wajah Angga yang tampan, bukan. Namun, wajah itu mampu menggetarkan hati Bela. Dinding es yang ada didalam diri Bela terasa mencair seketika saat matanya menatap wajah Angga. Apalagi dengan mata Angga yang terlihat begitu indah. Walaupun mata itu sering menatapnya sengit. Bahkan tak jarang Bela merasa takut dengan mata Angga. Namun, saat ini Bela melihat sisi lain dari tatapan dan semua yang berbeda dari Angga.

"Kamu takut sama saya, Bela?" Suara Angga tiba-tiba terdengar. Membuyarkan semua pikiran Bela tentang Angga.

Bela mengangguk kepalanya lirih.

"Kenapa?" Tanya Angga.

"Bapak galak. Kalau marah serem. Saya takut..." Cicitnya.

Perkataan Bela mampu membuat Angga tersenyum geli. Bela terlalu menggemaskan menurutnya. Mungkin sangking menggemaskan, Angga sampai tak mampu menahan dirinya untuk tidak mencium Bela lagi.

***

Kamu Jodoh Saya!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang