2.

14 1 0
                                    

Pram yang tak pernah berhenti berjalan. Pada suatu senja di tepian lautan. Pram berjalan merajut langkah. Meninggalkan jejak kaki pada pasir hitam yang terasa hangat. Semburat langitpun mulai menjingga pertanda kerinduan malam semakin purna.

"Masih terlalu sore untuk mabuk"

Pikir Pram. Dan juga, ia kurang menyukai perasan anggur di tepi pantai. Hanya anggur dari kedai tepi telaga lah yang mampu menuntaskan dahaga jiwanya. Walau sementara.

Pram terus berjalan dalam lumunannya. Tiba-tiba langkahnya terhenti oleh sesuatu yang mengganjal ayunan kakinya. Pram menginjak payung yang terbalik. Berniat acuh, tapi Pram sadar akan sesuatu. Payung terbalik itu diganjal batu besar. Seolah memang dipasang di sana agar tak terbang di bawa angin.

Pram pun mengankat wajah untuk memperhatikan sekitar. Siluet perempuan berambut sebahu mendekat. Jarak yang dipangkas dengan Pram makin tipis hingga Pram berhasil menangkap parasnya.

"Sungguh indah. Jauh lebih indah dari sekedar sebutan jelita" Batin Pram tak bergeming.

Perempuan itu menghampiri Pram dengan wajah panik dan penuh kekhawatiran. Entah mengapa, sejak dari kejauhan bahasa tubuhnya terllihat aneh. Tangannya terus-terusan menunjukkan pola permohonan maaf seolah sedang bersalah. Tanpa sepatah katapun, perempuan itu terus memandang mata Pram dan menunjukkan wajah permohonan maaf.

"Kau minta maaf padaku, Nona?"

Perempuan itu mengangguk dengan segera. Ia menunjukkan payung terbaliknya yang salah satu kerangkanya menyembul tajam. Laluperempuan itu menunjuk-nunjuk kaki Pram.

Bagai menebak teka-teki pantomim, Pram pun memeriksa kakinya yang ternyata sudah berdarah tertusuk payung ujung kerangka payung. Pram menatap mata perempuan itu lagi, wajahnya semakin memelas dan memohon untuk dimaafkan.

"Kau yang memasang batu pada payung rusak ini?"

Tanya Pram. Dan perempuan itu hanya mengangguk.

"Untuk apa?"

Perempuan itu kemudia menunjukkan buku sketsanya pada Pram untuk menjelaskan.

"Kau menggambar? Siapa namamu?"

Seketika perempuan itu menunjukkan gelang ia pakai. Gelang tali dengan hiasa satu manik bunga dan beberapa batu alam. Perempuan itu menunjuk-nunjuk manik bunga yang ada di gelangnya.

"Bunga?"

Sang perempuan menggeleng.

"Jingga?"

Ia masih tetap menggeleng. Sambil mengeluarkan pena, akhirnyaperempuan itu meminta kembali buku yang masih di pegang Pram.

"Kau tak perlu melakukannya Nona. Aku punya banyak waktu senggang untuk menebak namamu"

Kata Pram dengan sedikit menggoda. Seolah tahu niat sang perempuan. Pram justru mengangkat buku itu lebih tinggi, isyarat bahwa ia tak mau memberikan. Pram yang sadar akan dirinya yang tertarik dengan perempuan itu, tak merasa tak rela jika mengetahui namanya dengan mudah.

Pram pun meraih pergelangan tangan nona muda itu. Mengamati baik-baik manik bunga milik sang nona yang tak keberatan. Perempuan itu juga sedikit tertarik dengan Pram. Ia sedikit takjub, sebab biasanya orang-orang tak ingin berurusan terlalu lama dengannya karena dianggap merepotkan.

"Dahlia?"

Dengan senyum hangat perempuan itu mengangguk. Batin keduanya sama-sama berdesir halus karena Pram berhasil memecahakan misteri dari teka-teki yang tak disengaja ini.

"Nama yang indah ... Kau sengaja membuat gelang yang cantik untuk memperkenalkan dirimu yang jelita ini Nona?"

Dahlia tersipu. Ia menunduk malu menatap mata Pram. Sambil sesekali menyisipkan rambutnya yang berantakan diterpa angin laut di ujung telinga.

"Aku Pram ... Senang bertemu gadis semanis Nona"

*****

Wahai Tuhan pemilik api penyucian
Senja ini kau pertemukanku dengan dewi
Maaf jika aku makin tak tahu diri
Bolehkah aku cabut permintaanku
Bakarlah aku di nerakamu
Walau petapa berkata mustahil bagiku tuk kembali suci
Aku yakin
Kasih-Mu lebih dari sekedar surgawi

Pram

Suara Dahlia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang