3

7 1 0
                                    

"Apakah kau melukis ini semua?"

Dahlia mengangguk. Pram terus memandangi lukisan-lukisan Dahlia tanpa jeda. Ia tak mengeluarkan satu kata patahpun untuk memujinya. Baginya, diam dalam kekaguman adalah caranya memuji Dahlia dengan cara paling sempurna.

Mereka berdua kini berada dalam ruangan kecil berukuran 3x3 meter. Sebuah ruangan dengan atap rendah yang walaupun begitu kecil dan sempit, disitulah dunia dahlia dihamparkan.

"Tunggu, kenapa lukisanmu semuanya terdapat gambar rubah? Kulira kau lebih menyukai panorama ketimbang binatang"

Pram terus bertanya walau tak menuntut jawaban. Dia hanya ingin berbicara agar mata Dahlia tak berhenti menatapnya. Pram sadar sedari awal pertemuan, bahwa Dahlia adalah perempuan bisu. Namun matanya selalu berbicara tentang kejujuran yang terahasia walau tak disembunyikan. Pram yakin Dahlia menyimpan denyar yang sama saat Pram menafsirkan senyum Dahlia di tepi pantai. Itu sebabnya Pram berani meminta Dahlia menunjukkan semua lukisannya sebagai permintaan maaf atas luka di kakinya. Luka yang justru menuntunnya pada relung jiwa Dahlia yang terekam dalam lukisan.

Dahlia diam sejenak, terlihat ia sedang memikirkan sesuatu. Dengan sabar Pram memperhatikan Dahlia dan menunggunya memberikan jawaban.

Tak lama kemudian. Dahlia menggotong kursi bundar yang biasa ia gunakan saat melukis. Ia meletakkan kursi itu di pojokan, seolah sedang berberes-beres. Seluruh alat dan tatakan kanvan juga ia sisihkan di samping rak. Pram tak membantu perempuan yang tengah sibuk itu. Baginya membantu Dahlia saat ini akan sama dengan memotong perkataan perempuan yang sedang mengungkapkan isi hatinya.

"Dahlia, kau adalah misteri yang senyapmu mengisi sengsaraku yang sunyi" Gumam Pram dalam hati. Tak lama setelah bisik kalbunya menjadi sunyi. Dahlia pun mempersilakan Pram untuk duduk di kursi yang ia pindahkan tadi.

Pram duduk. Dahlia masih sibuk. Di depan Pram, ia mengobrak-abrik lukisannya lalu merapikannya lagi. Tingkahnya sudah seperti orang mengurutkan kartu. Setelah itu, Dahlia menata kanvas-kanvasnya sesuai dengan urutan yang ada di kepalanya. Dahlia juga memakai kursi kecil untuk memasanh lukisan di dinding bagian atas.

Pram terus memperhatikan dan lama kelamaan ia menyadari sesuatu.

"Berhenti Dahlia"

Ucap Pram. Ia pun berdiri dan mendekat pelan kepada sang perempuan.

"Ruangan ini adalah buku ceritamu. Bolehkah aku menjilidnya dengan kepalaku?"

Ucap Pram yang mendongak menghadap Dahlia yang masih memgangi lukisan yang akan ia gantung di atas.

"Turunlah, biar aku menyelesaikan puzzle ini"

Dahlia menggeleng. Ia ingin mempersembahkan karyanya kepada Pram dengan paripurna.

"Ayolah Nona, pria ini sangat menyukai misteri lebih dari senyum kekasih. Ya ... Meskipun misteri terbesar dihidupku saat ini adalah Nona"

Dahlia terkejut dengan ucapan Pram yang seolah mengutarakan cinta. Ia menyusul wajah kagetnya dengan senyum sipu yang ronanya lebih hangat dari senja musim panas. Ia pun akhirnya turun. Mempersilakan Pram menata lukisannya agar bisa dibaca Pram sebagai sebuah kisah. Kini, giliran Dahlia yang duduk di tepian dinding dingin ruang sempit itu.


Suara Dahlia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang