"Hidupku penuh aib, Nyonya"
Gumam Pram. Lelaki yang kesadarannya mulai melayang itu meletakkan kepalanya dengan manja kepermukaan meja. Membisikkan kutukan tentang bagaimana hidupnya yang dilukis dengan cat minyak kesengsaraan. Yang bahkan air mata penyesalan apapun tak dapat menghapuskannya.
"Apa anda akan bersyair lagi Tuan?"
Jawab nenek tua pada sang pemuda. Di tepi telaga kecil itu, sebuah kedai anggur perasan nenek Kinanti adalah pusaka bagi tiap-tiap yang memelihara luka sengsara. Termasuk Pram.
"Hari ini kau tak perlu membayar utangmu lagi Nek. Aku sudah memalak preman pasar sebelum datang ke sini. Anggap saja utangmu lunas, biarkan aku yang membayar ke tua bangka itu"
Pram berjalan gontai menuju pintu keluar.
"Jangan seperti itu. Bagaimanapun juga si tua bangka itu ayahmu. Hati-hati di jalan Tuan"
Pram keluar tanpa meninggalkan jejak sapaan apapun. Nasehat Nyonya kedai tak ia hiraukan. Pram hanya muak. Bagaimana bisa ayahnya tetap memasang bunga tinggi kepada nenek tua yang berhutang padanya. Ayah Pram adalah seorang tuan tanah di daerahnya. Sebuah daratan yang dipenuhi dengan lendir menjijikkan lintah darat ayahnya. Pram ingin lari tapi tak bisa. Ia terjerat utang rasa seumur hidup pada ayahnya. Pram yang terlahir buta, dapat melihat dunia ketika ayahnya memberikan sebelah mata kanannya untuk Pram. Berkat ayahnya ia bisa melihat. Walau mata pemberian ayahnya hanya bisa melihat oada kegelapan dunia, Pram cukup tahu diri untuk bakas budi walau dengan jalan yang ia benci.
Setiap hari Pram akan berkeliling. Dari rumah ke rumah. Dari desa ke desa, dan dari bukit ke bukit. Ia akan menagih hutang pada orang-orang yang meminjam uang ayahnya. Di sini Pram akan bermain peran sebagai orang jahat. Meramaps harta orang yang yang kelaparan karena utangnya. Memukul, meghajar dan menghantam orang-orang yang enggan membayar agar mereka jera. Bahkan yang paling keji, menyeret anak gadis orang miskin untuk diberikan kepada ayahnya sebagai jaminan.
Pekerjaan ini membuat Pram letih. Sesekali ia mengembara pada dirinya sendiri yang ia sebut pelarian. Ia akan membacakan syair di kedai-kedai tepi pantai untuk menghibur para nelayan yang meskipun telah menepi hidupnya masih terombang-ambing.
Pram yang mabuk pun sampai ke rumahnya. Begitu masuk ruang tamu, si tua bangka, sang Tuan Tanah bernama Cakra Bumi nampak sedang duduk tenang yang ditemani dengan dua perempuan di sampingnya.
"Kau mabuk lagi?"
Pram tak menjawab. Ia hanya melirik ayahnya sebentar dan menghamburkan uang yang ia keluarkan dari sakunya ke meja lalu melenggang layu ke ruangannya.
"Aku memang tak pernah mengajarkanmu sopan santun Pram. Tapi jika kau bertingkah seperti ini, itu bukti bahwa kau bersedia menjadi bajingan sepertiku"
*****
Neraka tak layak bagiku
Sebab hakikat api adalah penyucian
Adakah tempat yang lebih terkutuk?
Jahanam terlalu suciPram_
*****
Pram yang tak pernah berhenti berjalan. Pada suatu senja di tepian lautan. Pram berjalan merajut langkah. Meninggalkan jejak kaki pada pasir hitam yang terasa hangat. Semburat langitpun mulai menjingga pertanda kerinduan malam semakin purna.
"Masih terlalu sore untuk mabuk"
Pikir Pram. Dan juga, ia kurang menyukai perasan anggur di tepi pantai. Hanya anggur dari kedai tepi telaga lah yang mampu menuntaskan dahaga jiwanya. Walau sementara.
Pram terus berjalan dalam lumunannya. Tiba-tiba langkahnya terhenti oleh sesuatu yang mengganjal ayunan kakinya. Pram menginjak payung yang terbalik. Berniat acuh, tapi Pram sadar akan sesuatu. Payung terbalik itu diganjal batu besar. Seolah memang dipasang di sana agar tak terbang di bawa angin.
![](https://img.wattpad.com/cover/333743969-288-k564923.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Dahlia
Short StoryPerempuan itu bernama Dahlia. Pram begitu mencinta Dahlia bukan hanya karena lukisannya yang indah dan bermakna. Tapi karena Dahlia sendiri adalah lukisan indah Tuhan yang membuat kisah hidup Pram jauh lebih bermakna. Sebuah kisah tentang pemuda pe...