END

9 1 0
                                    

"Apakah boleh kusimpulkan kalau mereka mati Dahlia?"

Tanya Pram. Dahlia ingin menjawab, tapi matanya menyipit penuh keheranan. Seolah bertanya bagaimana Pram bisa punya pemikiran demikian?

"Apakah aku salah?"

Dahlia mengangkat bahunya. Mengisyaratkan kata "entahlah" Karena ia tak ingin menghakimi hasil pembacaan Pram terhadap lukisannya.

"Aku hanya berfikir bahwa sang rubah mati dalam keadaan lemas dan lapar. Ia tak ingin memakan kelinci karena tujuan hidupnya telah tercapai, yaitu mewujudkan sebuah perlawanan. Dan kelinci, kuyakin dia juga mati. Ia berusaha menjaga rubah yang tidak mungkin terbangun. Ia tak kemanapun bahkan untuk makan sekalipun, itu adalah janji ia tekadkan sebab nyawanya telah diselamatkan"

Mendengar ungkapan Pram. Wajah penuh keheranan nampak jelas di wajah sang Nona. Akhirnya, Dahlia pun mengeluarkan notebook kecil, menulis beberapa kata sesaat lalu menyerahkan tulisannya.

Kenapa pikiranmu gelap sekali Tuan?Ayolah, ini hanya cerita anak-anak biasa. Tidak perlu ada kutukan, perlawanan ataupun kematian. Mengapa tak kau artikan saja lukisanki dari sisi sifat altruistik binatang. Bahwa siapapun orangnya, dari manapun muasal maupun bagaimanapun rupanya. Semua makhluk hidup bisa saling menyayangi.

Pram cukup tersentak mengetahui isi nurani Dahlia yang ternyata begitu bening dan murni. Ia sadar bahwa kepalanya terlalu banyak dipenuhi pikiran gelap yang rumit, hingga ia tak sadar bahwa dunia ternyata bisa dibaca dengan cara yang sederhana dan begitu indah.

Saat itu, di momen itu, Pram yang merasa hatinya diselimuti kegelapan, mulai menemukan setitik cahaya. Cahaya yang entah akan membawa kisah bahagia atau justru akan memperpanjang tanda kemalangannya. Sebab perempuan itu terlalu terang untuk ia nodai dengan kegelapan di hati Pram.

Suara Dahlia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang