1.

12 1 0
                                    

"Hidupku penuh aib, Nyonya"

Gumam Pram. Lelaki yang kesadarannya mulai melayang itu meletakkan kepalanya dengan manja kepermukaan meja. Membisikkan kutukan tentang bagaimana hidupnya yang dilukis dengan cat minyak kesengsaraan. Yang bahkan air mata penyesalan apapun tak dapat menghapuskannya.

"Apa anda akan bersyair lagi Tuan?"

Jawab nenek tua pada sang pemuda. Di tepi telaga kecil itu, sebuah kedai anggur perasan nenek Kinanti adalah pusaka bagi tiap-tiap yang memelihara luka sengsara. Termasuk Pram.

"Hari ini kau tak perlu membayar utangmu lagi Nek. Aku sudah memalak preman pasar sebelum datang ke sini. Anggap saja utangmu lunas, biarkan aku yang membayar ke tua bangka itu"

Pram berjalan gontai menuju pintu keluar.

"Jangan seperti itu. Bagaimanapun juga si tua bangka itu ayahmu. Hati-hati di jalan Tuan"

Pram keluar tanpa meninggalkan jejak sapaan apapun. Nasehat Nyonya kedai tak ia hiraukan. Pram hanya muak. Bagaimana bisa ayahnya tetap memasang bunga tinggi kepada nenek tua yang berhutang padanya. Ayah Pram adalah seorang tuan tanah di daerahnya. Sebuah daratan yang dipenuhi dengan lendir menjijikkan lintah darat ayahnya. Pram ingin lari tapi tak bisa. Ia sadaar bahwa tak akan pernah bisa luput dari dosa ayahnya pula. Bagi Pram, ia sama busuknya dengan ayahnya.

Setiap hari Pram akan berkeliling. Dari rumah ke rumah. Dari desa ke desa, dan dari bukit ke bukit. Ia akan menagih hutang pada orang-orang yang meminjam uang ayahnya. Pekerjaanini membuat Pram letih. Sesekali ia mengembara pada dirinya sendiri yang ia sebut pelarian. Ia akan membacakan syair di kedai-kedai tepi pantai untuk menghibur para nelayan yang meskipun telah menepi hidupnya masih terombang-ambing.

Pram yang mabuk pun sampai ke rumahnya. Begitu masuk ruang tamu, si tua bangka, sang Tuan Tanah bernama Cakra Bumi nampak sedang duduk tenang yang ditemani dengan dua perempuan di sampingnya.

"Kau mabuk lagi?"

Pram tak menjawab. Ia hanya melirik ayahnya sebentar dan menghamburkan uang yang ia keluarkan dari sakunya ke meja lalu melenggang layu ke ruangannya.

"Aku memang tak pernah mengajarkanmu sopan santun Pram. Tapi jika kau bertingkah seperti ini, itu bukti bahwa kau bersedia menjadi bajingan sepertiku"

*****

Neraka tak layak bagiku
Sebab hakikat api adalah penyucian
Adakah tempat yang lebih terkutuk untuk dapat kutinggali?
Jahanam terlalu suci

Pram

Suara Dahlia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang