Kina masuk sekolah untuk pertama kali setelah kepergian ibunya. Dapat dilihat jelas, matanya masih bengkak. Sepertinya ia masih belum bisa merelakan kepergian ibunya.Teman-teman sekolah dan para guru merasa iba pada gadis 14 tahun itu. Beberapa dari mereka mencoba menyabarkan dirinya.
Sungguh kasihan Kina. Kini ia sebatang kara hidup di dunia ini.
Tak ada Ibu dan tak ada Ayah.
"Baik anak-anak. Kita sudahi pelajaran kita pada hari ini ya." Bu Sabrina menutup kelas karena bel telah berbunyi, menandakan jam istirahat telah tiba.
"Baik, Bu." Seisi kelas lantas mulai beranjak, hanya beberapa yang masih bertahan di bangku.
Bu Sabrina sedang membereskan buku-buku di atas meja ketika dihampiri oleh Kina.
"Bu," panggilnya.
Bu Sabrina tersenyum, "ya ada apa Kina?" Ia mengalihkan perhatiannya sejenak kepada Kina.
"Saya ingin pindah sekolah. Tapi saya tidak tahu apa saja persyaratannya." Gadis yang duduk di bangku kelas 9 itu berujar pelan. Namun, berhasil membuat Bu Sabrina terkejut mendengarnya.
"Loh Kina kenapa mau pindah sekolah?"
"Emm saya... Saya..." Kina tampak tak bisa menjelaskan alasannya.
"Oke kalau begitu, kamu ikut saya ke kantor saja," putus Bu Sabrina.
"Baik, Bu." Kina mengikuti langkah Bu Sabrina. Selama perjalanan menuju kantor guru, Bu Sabrina terus menanyai alasan ia pindah sekolah. Namun, ia masih kesulitan menjawab.
Barulah ketika dihadapkan dengan wali kelas dan juga kepala sekolah, Kina akhirnya memberikan alasannya. Sesuatu yang membuat Bu Sabrina penasaran setengah mati. Memang benar seluruh pihak sekolah telah mengetahui bahwa Ibunya Kina telah meninggal dunia beberapa hari lalu. Tetapi, hal itu tidak membuat mereka berpikiran sedikitpun bahwa Kina akan pindah sekolah.
"Jadi, begitu ceritanya, Pak, Bu," Kina menarik napas pelan. "Karena saya tidak tahu harus bagaimana setelah tidak punya orang tua lagi, saya memutuskan untuk tinggal di asrama saja."
"Tapi Kina bukannya tinggal di asrama itu memerlukan biaya. Nah, bagaimana kamu akan membayarnya. Tolong pikirkan itu juga. Di sekolah ini kamu bisa bersekolah dengan gratis setidaknya sampai kamu tamat nanti. Lalu mungkin untuk melanjutkan SMA kamu bisa bekerja dulu, nabung dulu, tahun depannya baru kamu lanjut SMA. Berbeda halnya jika tinggal di asrama, kamu gak akan bisa ngapa-ngapain. Tinggal di asrama itu juga mesti disiplin, Kina." Pak Kepala Sekolah memberikan pandangan. Ia ingin Kina bisa memilih dengan mempertimbangkan banyak hal. Jangan hanya sekadar memutuskan tanpa berpikir.
Perdebatan mulai terjadi ketika Kina menyanggah apa yang Pak Kepala sekolah katakan. Sedangkan Bu Lidya selaku wali kelasnya hanya bisa menyimak saja.
"Tidak begitu, Pak. Kemarin saya mendapatkan info bahwa asrama yang terletak di pinggiran desa itu tidak dipungut biaya sama sekali. Semuanya gratis, Pak. Maka, dari itu saya yakin untuk memilih pindah ke sana. Jika, tidak demikian maka saya tidak akan mau."
"Siapa yang memberi kamu info itu? Kamu yakin itu memang benar?"
"Yakin, Pak. Yang memberi info itu adalah sanak saudara saya."
Kalau sudah begini, Pak Kepala sekolah hanya bisa mengalah saja. Dan guru-guru yang menyaksikan seperti Bu Lidya, Bu Sabrina, Bu Mestika, Pak Satya, Pak Sohib hanya bisa terdiam seribu bahasa.
"Oke."
Mendengar kata oke dari Pak Kepala sekolah, Kina senang bukan main. Ia bahkan melompot kegirangan. "Yess!" serunya sembari mengepalkan tangan ke udara.
Berbanding terbalik dengan muka sedihnya tadi pagi.
"Ya ampun!" serentak, para guru berseru.
🥀🥀🥀
Kina membual tentang asrama. Tak hanya kepada Kepala sekolah para guru, ia pun membual juga kepada Kepala Lingkungan dan Istrinya. Pak Suhardi dan Bu Ratih.
"Jadi saya butuh tandatangan Bapak di surat pindah sekolah ini. Saya harap Bapak bersedia menjadi wali saya, sebagaimana yang kita telah ketahui bersama bahwa saya sudah tak lagi memiliki orang tua."
"Tentu saja tidak masalah, Kina. Tidak usah sungkan-sungkan begitu." Pak Suhardi mulai mengguratkan pena membentuk tandatangan di kertas itu.
"Tapi Kina kamu yakin nanti pergi ke asramanya gak mau diantar? Ibu sama Bapak nggak repot kok." Bu Ratih bertanya.
"Tidak perlu, Bu. Saya bisa sendiri kok naik bus ke sana. Lagipula saya mau belajar mandiri."
"Enggak usahlah Kina, kamu nanti repot mesti menjaga barang-barang kamu waktu di bus." Pak Suhardi yang telah selesai memberi tandatangan pun akhirnya menyerahkan lembaran kertas itu pada Kina, ia mencoba bernegosiasi kiranya Kina mau menerima tawaran baik mereka.
"Tidak banyak, Pak. Paling nanti saya cuma bawa satu tas ransel dan tas jinjing aja. Bapak sama Ibu tenang saja saya bisa sendiri kok. Nanti pas sudah sampai disana, saya singgah ke tempat sanak saudara dulu."
"Oh ya udah deh, kalau begitu." Bu Ratih menyudahi. Daripada panjang tawar menawarnya yang tak juga mendapat kesepakatan.
"Terimakasih banyak, ya Pak, Bu. Saya izin mau ke rumah dulu."
Pak Suhardi dan Bu Ratih menjawab serempak.
Perjalanan yang ditempuh dari rumah Pak Suhardi ke rumah Kina hanya selebar jalan yang memisahkan saja. Tinggal nyebrang, Kina sudah sampai ke rumahnya. Ia pun membuka pintu rumahnya kemudian tersenyum.
Disini Kina bermain apik, ia berani mengarang soal asrama yang gratis. Mana ada yang seperti itu. Mustahil! Sepertinya Kina sudah mulai belajar cara membodohi orang-orang. Tapi itu semua ia lakukan bukan tanpa alasan.
Yang membuat sandiwara pasal asrama ini bermula adalah karena kejadian kemarin.
Kemarin, Kina baru saja pulang dari mengunjungi pusara ibunya. Keningnya mengernyit kala netranya melihat sebuah mobil kijang parkir di depan rumahnya. Awalnya ia tidak mau memedulikan perihal mobil itu.
Tepat ketika ia membuka pagar, telinganya mendengar seruan.
"Kamu, anak Jinan kan?"
Kina berbalik, seseorang lelaki berusia sekitar 40 tahunan berdiri di depannya, memakai kemeja warna oranye dan celana berwarna merah gelap. Kostumnya memang mirip dengan Jin BTS dalam MV dynamite, tapi sayang wajahnya tak mendukung. Kina melirik mobil kijang hitam di sebelah lelaki itu, mungkin saja lelaki ini berasal dari sana.
"Ya benar."
Lelaki itu membuka kacamata hitamnya. "Boleh saya mampir sebentar?"
"Iya boleh." Kina membuka lebar pagar rumahnya mempersilakan lelaki itu masuk.
Kina berpikir keras. Siapakah lelaki ini? Apa hubungannya dengan ibunya? Dan apa tujuannya datang kemari?
Kina tak berani membawa lelaki itu masuk ke rumahnya. Ia hanya membolehkan lelaki itu duduk di kursi yang terdapat di teras rumahnya.
"Sebentar ya om, saya ambilkan air dulu."
"Oh iya iya, kebetulan saya haus banget. Habis dari perjalanan jauh."
Kina berbalik, ia memutar bola matanya karena mendengar ucapan lelaki itu. Di dapur, Kina menuang air di gelas dan membawanya ke luar.
"Maaf om, cuman ada air putih." Ia letakkan gelas itu pada meja setelah itu duduk di kursi yang kosong.
Kebetulan teras rumahnya Kina dilengkapi dengan dua kursi yang dipisahkan oleh satu meja.
"Padahal saya mengharapkan es teh." Walau begitu ia tetap meminum air putih itu.