Part 04 - Family

76 4 0
                                    

Ketika Brian memberikan penawaran bahwa sebaiknya mereka pulang ke rumahnya meski hanya sekedar berkunjung, Vesty enggan untuk menolak. Ada banyak pertimbangan dalam kepala Vesty yang membuat ia menerima penawaran Brian. Gadis itu sudah lama tidak mengetahui tentang asal-usul dirinya sendiri selain hanya berasal dari keluarga Valentine. Tidak mengenal yang namanya Bibi, Paman, Kakek, Nenek apalagi saudara-saudara sepupunya membuat Vesty sedikit merasakan senang kala bertemu dengan salah satunya yaitu Brian.

Maka, ketika mereka telah menyelesaikan acara makan dan minum singkat di kafe tersebut, Vesty membiarkan Brian mengendarai mobilnya sedangkan ia duduk di kursi di sebelah pengemudi. Brian melakukan penggilan telepon dalam perjalanan, mengubungi orang-orang di rumahnya bahwa ia akan pulang bersama dengan Vesty.

Sesampainya di sebuah rumah besar dan mewah, Brian mengentikan mobil di sana, membawa Vesty masuk bersamanya dan disambut hangat oleh kedua orang tuanya yang ada di sana. Ini adalah pertama kalinya Vesty bertemu dengan mereka, ada sedikit canggung yang dirasakan ketika kedua orang asing itu menyambar tubuhnya ke dalam sebuah pelukan. Apalagi, ketika Vesty dengan ramahnya disuruh masuk ke dalam oleh seorang wanita paruh baya dengan rambut bersanggul rapi. Ia hanya bisa tersenyum canggung.

"Kami adalah keluargamu, Vesty. Jadi, jangan canggung dan anggap rumah sendiri," kata wanita itu.

"Itu benar, jangan malu-malu di rumah sendiri," sambung si lelaki.

"T-tapi ini bukan rumahku." Jawaban Vesty terdengar lucu di telinga mereka hingga membuat keduanya tertawa.

"Rumah kami adalah rumahmu juga, Vesty. Bibi Fiona akan dengan senang hati menerimamu layaknya putri sendiri. Benar, kan, Pa?" Fiona melirik pada sang suami.

"Itu benar, Vesty. Paman Daren juga akan sangat senang jika kau menganggap kami layaknya orang tua."

Vesty terdiam, ia tidak tahu bagaimana rasanya memiliki orang tua setelah kehilangan. Ia hanya tersenyum dengan canggung. Kedua orang yang mengaku sebagai Paman dan Bibi itu kemudian mengajak Vesty masuk, mengobrol lebih banyak di ruang tamu dan memerintah para pelayan membuatkan jamuan.

Mengobrol panjang lebar dengan keluarga Brian begitu hangat, agaknya ini pertama kali bagi Vesty merasa nyaman selain hanya dengan Alex. Usai obrolan-obrolan tersebut, mereka juga makan siang bersama, berlanjut pada kegiatan lain seperti membuat camilan bersama di dapur, memperhatikan Brian yang sedang main game dengan Paman Daren, dan dilanjut dengan Bibi Fiona yang menunjukkan banyak koleksi pakaian, buku, dan kosmetik miliknya.

Sebagai sesama wanita yang hobi bersolek, tentu Vesty teramat senang melihat itu. Ia tidak segan untuk mencoba beberapa kosmetik yang tidak dimiliki olehnya. Dan juga, ia begitu bahagia saat Fiona memberikan beberapa koleksi gaun cantik dan Vesty menyukainya.

Namun, acara bercengkrama mereka harus berakhir karena Vesty merasa sudah waktunya untuk pulang. Ia melihat jam tangannya sudah menunjukkan waktu sore. Brian mengantar Vesty sampai ke depan rumah.

"Terima kasih untuk hari ini," kata Vesty tersenyum begitu tulus.

"Kau suka?"

Harusnya Brian tidak perlu bertanya seperti itu, jawaban Vesty tercetak jelas melalui ekspresi gadis itu.

"Kapan-kapan, tidak masalah jika aku bermain ke sini, kan?" Vesty bertanya.

Brian memasang wajah sumringah mendengarnya. "Tentu saja. Rumah ini anggaplah juga rumahmu."

Dengan begitu, obrolan singkat mereka menutup pertemuan di antara keduanya. Vesty masuk ke mobilnya, melakukan kendaraan itu di jalan raya hingga tiba di rumah. Di depan sana, Vesty terkejut melihat keberadaan mobil lain yang adalah milik Alex. Gadis itu segera turun, berlari kecil hingga tiba di pintu rumah dan masuk begitu saja tanpa mengetuk.

"Dari mana?" Pertanyaan spontan yang didapatnya saat pertama kali menginjakkan kaki di ruang tamu.

"Dari rumah paman dan bibi." Jawaban Vesty membuat Alex mengernyit. Pria yang sedang duduk santai sambil memeluk setoples camilan itu pun berdiri.

"Paman dan Bibi?" tanya Alex mengulang.

"Iya. Aku baru saja bertemu dengan mereka tadi siang." Wajah sumringah Vesty semakin membuat lelaki itu khawatir.

"Kau tidak punya keluarga, Ves."

"Kenapa kau begitu yakin?"

"Rumahmu terbakar habis dan kasus itu ditutup sebagai insiden kecelakaan."

"Lantas apa hubungannya denganku? Keluargaku dianggap mati dan aku dianggap selamat entah tinggal di mana. Hanya karena itu maka semua dianggap telah tiada? Kau tidak berpikir bahwa aku memiliki paman, bibi, dan saudara? Mengapa kau begitu yakin dengan itu?" Vesty mendebat, dan Alex tak suka itu.

Untuk pertama kalinya dalam selama mereka hidup bersama, Vesty bersikap seperti ini. Seakan bahwa ucapan Alex adalah kesalahan dan ia sendiri tengah membela paman dan bibi yang baru ditemuinya tadi siang. Alex tidak mau langsung percaya bahwa orang yang ditemui oleh Vesty adalah paman dan bibi aslinya, bisa saja itu hanyalah orang yang menyamar atau mengaku-ngaku.

"Bisa saja itu hanya orang-orang yang mengaku-ngaku sebagai keluargamu. Vesty, aku mengenalmu sejak lama, aku tahu dirimu dan keluarga yang telah meninggalkanmu." Mendengar penuturan itu, Vesty mendecakkan lidah.

Kali ini, entah mengapa Vesty begitu sulit menaruh percaya, apalagi ketika jelas-jelas ia sudah melihat kartu kependudukan Brian dan marga mereka yang sama. "Brian Valentine adalah kakak sepupuku, Fiona Rosaline dan Daren Valentine adalah pamanku."

Alex terkejut mendengar itu, ia menelan ludah dengan susah payah. "K-Kau bertemu mereka?"

"Kau mengenal mereka?" Vesty bertanya dengan mata membulat. Gadis itu tidak menyangka. "Kau mengenal mereka dan tahu mereka tetapi tidak menceritakan apapun padaku? Apa yang sebenarnya terjadi padaku di masa lalu, Alex? Kau merahasiakan banyak hal dariku."

Disambar dengan pertanyaan bertubi-tubi, Alex memilih untuk pergi. Namun, Vesty dengan cepat menahan langkah kaki pria itu. Ia perlu tahu banyak hal tentang dirinya sendiri.

"Ini pertama kali dan terakhir aku berkata padamu, jangan bertemu mereka lagi." Alex memberikan penekanan di setiap kata dalam ucapannya.

"Kenapa? Kenapa aku tidak boleh bertemu mereka? Mereka keluargaku, Alex."

"Keluargamu hanya aku, Vesty. Tidak yang lain."

Vesty dan Alex saling tatap untuk beberapa detik, sampai Vesty mengalihkan pandang dan menatap kosong ke sekitar. Mata gadis itu nanar, berkaca-kaca menahan tangisan.

"Kau terlalu banyak rahasia, Lex." Vesty berucap.

"Demi kebaikanmu, Vesty."

Kekehan langsung keluar begitu saja dari mulut Vesty. Selalu saja begitu. Alex selalu mengatakan itu setiap kali ia mempertanyakan tentang kejadian sesungguhnya sepuluh tahun lalu. Bahwa Alex menutupi segala hal demi kebaikan Vesty agar tidak terlibat dengan masalah yang telah usai.

Namun, Vesty yang telah dewasa sekarang sudah memiliki pemikiran berbeda. Ia bukan anak-anak lagi yang akan langsung mengiyakan setiap hal dari orang lain. Ia juga merasa curiga, penasaran dan butuh jawaban dalam setiap keraguan yang dirasakan olehnya.

.
.
.

🌹❤️🌹

~ Resti Queen ~

Nightmare ValentineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang