Part 13 - Document

24 3 0
                                    

Perbincangan tentang hal itu dihentikan. Brian tidak mau membahas tentang Alex lagi. Sekarang fokusnya hanya tertuju pada bagaimana agar Vesty cepat lihai dalam hal bisnis. Brian kemudian pun berpindah, berdiri dari kursinya dan mengambil satu dokumen dari rak di belakang sana. Setelah itu, ia kembali duduk di kursi semula dan menyerahkan itu pada Vesty yang masih diam di tempatnya.

"Apa ini?" Vesty bertanya.

"Tanda tangan di tempat yang sudah disediakan." Brian berucap tanpa basa-basi atau memberikan penjelasan terlebih dahulu.

"Untuk apa?" Vesty masih bertanya tidak paham.

"Itu adalah dokumen untuk pemegangan saham. Setelah kau menandatangani itu, kau akan bisa ikut rapat bersama dengan pemegang saham yang lain." Brian menjelaskan.

Vesty membolak-balik isi dari dokumen tersebut, keningnya berkerut setelah ia menyaksikan apa yang ada di dalamnya. Sebuah file dengan ketikan yang tidak bisa ia mengerti. Bahasa yang digunakan dalam dokumen tersebut adalah bahasa asing, bukan bahasa Inggris sehingga ia tidak bisa memahami.

Vesty mendongak ke arah Brian. Gadis itu bertanya, "Kau menyuruhku menandatangani dokumen yang tidak kuketahui isinya?"

"Perusahaan ayahmu ada di Prancis, Vesty. Sudah sewajarnya jika bahasa yang digunakan dalam dokumen terkait menggunakan bahasa itu." Jawaban Brian masih membingungkan.

Segala hal yang terjadi dan pemaksaan demi pemaksaan yang Brian lakukan membuat ia merasa curiga. Vesty tidak menaruh percaya pada ucapan-ucapan Brian meski tahu bahwa pria itu adalah sepupunya. Yang katanya juga adalah orang yang akan membantu ia mempelajari seputar dunia bisnis.

"Aku tidak bisa," jawab Vesty, menutup kembali dokumen pemberian Brian dan menyerahkannya kembali. Brian memasang wajah bertanya-tanya, Vesty mengerti itu. Sehingga, ia kembali berkata, "Aku tidak bisa menandatangani sesuatu yang tidak kuketahui. Bisa saja isi dan penjelasanmu tidak sama, bukan?"

Brian terkejut awalnya, tapi pada detik kemudian, pria itu tertawa. "Jadi maksudmu, kau menuduhku telah memberikan informasi palsu dan memaksamu menandatangani itu?"

"Ya, memang terkesan seperti itu dari apa yang kutangkap sejauh ini." Vesty menjawab tegas.

"Secara tidak langsung kau menuduhku sebagai penipu, Vesty."

"Aku curiga memang demikian."

Oh, Brian terkejut lagi melihat bagaimana Vesty begitu berani. Beberapa puluh menit sebelumnya, Vesty masih terlihat amat polos ketika membahas tentang Alex dengan segala tudingan yang diterima. Namun, sekarang Vesty berubah menjadi gadis dengan segudang pemikiran yang tidak bisa ia tebak apa. Seakan Vesty berubah dalam sekejap saja kepribadian. Menjadi seseorang yang lain, yang lebih berani dan berbicara tanpa pikir panjang.

"Tidak ada gunanya aku menipumu, Vesty." Brian berdalih.

"Kalau begitu, tidak apa-apa kan jika aku menandatangani ini setelah aku memahami bahasa yang dipakai di dalamnya?" Pertanyaan itu membuat Brian terdiam untuk sesaat.

Pada awalnya, memang Brain menginginkan Vesty segera membubuhkan tanda tangan di atas dokumen itu. Akan tetapi, setelah terang-terangan mengatakan bahwa Vesty curiga terhadapnya, Brian mengalah. Ia menyetujui apa yang diminta oleh gadis tersebut dan membiarkan Vesty membawa dokumen itu bersamanya.

Selanjutnya, Brian mengajak Vesty ke kantin yang ada di perusahaan tersebut. Mereka menikmati makan siang di sana dan kemudian kembali belajar banyak hal. Brian tentu saja melakukan tugasnya di sana sebagai pimpinan cabang, sekaligus mengajari Vesty praktek yang sesungguhnya sebagai kepala pemegang bisnis.

Vesty diminta untuk memperhatikan dalam segala hal yang Brian lakukan, interaksi pria itu dan sekretaris, serta pertemuan-pertemuan dengan banyak rekan bisnis pun tidak luput dari pandangan. Vesty memperhatikan segalanya, memastikan segala informasi yang didapat masuk dalam otaknya.

Hari ini, begitu melelahkan bagi Vesty. Ia merasa seperti diperas otaknya, bekerja dan berpikir berat sepanjang hari membuat ia terasa amat lelah. Maka, pada saat waktu kerja Brian telah habis, mereka langsung pulang ke kediaman Daren tanpa mampir ke manapun. Tiba di kediaman itu dan masuk ke dalam, mereka langsung disambut oleh Fiona yang berada di ruang tamu.

"Mama menunggu kami di sini?" tanya Brian melihat Fiona begitu cepat datang menyambut mereka saat baru masuk dari sofa ruang tamu.

"Tidak juga, Mama menunggu papamu dan sepertinya ia akan pulang terlambat." Fiona menjawab. "Oh, Vesty."

Vesty berhenti melangkah setelah mendengar Fiona menyebut namanya. Saat masuk ke dalam, Vesty memang tidak terlibat percakapan ibu dan anak tersebut. Ia lelah sehingga memutuskan untuk langsung berjalan menuju ke arah kamarnya.

"Iya Tante?"

"Tunggu sebentar lagi, ya. Tante dan para pelayan akan segera membuatkan makan malam."

Vesty tersenyum kecil, hampir tidak terlihat dengan kelopak matanya yang menyipit lelah. "Tidak perlu, Tante. Vesty mau langsung istirahat di kamar."

"Tapi, Vesty. Kau tidak boleh melewatkan makan malammu. Setidaknya isi tenaga setelah seharian bekerja dan belajar bersama Brian."

Vesty ingin menolak tentu saja. Tetapi melihat keantusiasan tantenya membuat ia tidak tega. Pada akhirnya, ia setuju-setuju saja dan justru mengambil keputusan membantu Fiona bekerja di dapur. Sementara itu, Brian kemudian berjalan ke ruang keluarga, menikmati acara santai di televisi bersama dengan Dion yang memang sudah ada di sana.

Vesty dan Fiona mulai kegiatan mereka, memasak di dapur dengan bantuan seorang pelayan. Tidak banyak yang akan disiapkan untuk makan malam, tetapi setidaknya cukup enak dan mengenyangkan. Fiona tahu bahwa Vesty lelah dan sesegera mungkin butuh istirahat. Maka dari itu, ia menginstruksikan untuk memasak makanan simple yang mudah dan cepat selesai.

Usai itu, mereka menghidangkannya di atas meja makan. Kebetulan bertepatan dengan kedatangan Daren yang baru saja pulang. Pria dua anak itu pun melempar tas kerjanya ke sembarang arah, melihat meja makan telah siap membuat nafsu makannya naik seketika. Tidak lupa juga Fiona memanggil kedua putranya dan mengajak mereka makan malam bersama.

"Bagaimana harimu, Vesty?" tanya Daren saat makan malam masih berlangsung.

"Baik, Paman. Aku banyak belajar bisnis dengan Brian hari ini."

"Kau tidak dibuat kesulitan olehnya, kan?"

"Tentu saja tidak. Brian cukup lihai dalam memberikan pengajaran dan mudah dimengerti."

"Baguslah kalau begitu." Daren mengangguk-angguk.

Mereka kembali menyantap hidangan dalam hening untuk beberapa saat sebelum akhirnya Daren kembali bersuara, "Bagaimana dokumennya?"

Pertanyaan itu, tidak jelas ditujukan kepada siapa karena Vesty sendiri tidak melihat pada Daren. Sedari tadi ia menunduk dan menyantap makanan dengan lahap. Saat mendongak, ia mendapati Daren tengah menatapnya bergantian dengan Brian.

"Dokumen apa, Paman?" Vesty bertanya.

"Kau belum memberikan dokumen itu pada Vesty?" Kali ini, pertanyaan Daren tersebut ditujukan pada Brian.

"Sudah, Pa."

"Lalu?"

"Vesty, yang dimaksud Papa adalah dokumen berbahasa Prancis yang tadi kuberikan."

"Oh, untuk itu, Vesty belum menandatanganinya." Vesty pun menjawab.

Wajah Daren seketika berubah. Yang awalnya ramah dan senyum lebar, berubah menjadi wajah dengan tatapan datar. Entah mengapa, Vesty merasa ada yang aneh dan ia merasa sangat tidak nyaman.

.
.
.

🌹❤️🌹

~ Resti Queen ~

Nightmare ValentineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang