Duka Kesekian

71 5 2
                                    

"Ayahmu, dia baik - baik saja."

Mata yang tadinya tak memperlihatkan kasat apapun menjadi lebih hidup, seiring matanya menoleh ke arahku seakan bertanya apakah aku bersungguh - sungguh atau tidak.

"Dia disini," tambahku. Matanya membelalak berbeda, alisnya juga menukik cemas. Bola mata itu bergerak mencari presensi orang yang sudah diselamatkan nyawanya.

"Di IGD." Kupikir setelah mendengar ini, Asa akan terlihat bernapas lega, nyatanya tidak, badan ringkihnya malah bangkit hingga menjatuhkan tiang infus. Dengan paksa dia juga mencabut jarum itu dari tangannya.

Aku hanya bisa terkejut karena peregerakannya tiba - tiba. Saat di daun pintu aku berusaha mengejarnya.

Kaki kecilnya lihai melangkah sedangkan matanya mencari. Setelah menemukan IGD anak itu berlari memasuki ruangan sibuk itu dan menyibak satu persatu. Meskipun aku mengikuti dan tak dapat menyeimbangkan langkah kecil itu, kecemasan terkilat dari rautnya.

Dia mencari Diharja. Setelah menemukannya, Asa mematung. Seakan terpaku, tapi hanya sementara. Kakinya berbalik mundur perlahan dan meninggalkan sosok yang dia cari di IGD. Kepalanya menunduk menyembunyikan sendu, aku ingin tanya apa dia seberduka itu melihat ayahnya terbaring lemas di IGD tapi urung.

Punggungnya mengecil tanda dirinya lara, apapun dihadapannya tak pandang buluh ditabrak. Hingga badan ringkihnya terjatuh.

Aku bergegas menghampiri. Menegakkan pundak penuh beban itu, dia menatapku seakan tanpa nyawa. Namun air matanya mengalir sedikit demi sedikit seakan menyalurkan kepedihan secara perlahan.

Ini pertama kali aku melihat seorang anak yang menangis dengan sebegini perihnya. Seakan aku merasakan duka laranya, perasaanku tidak nyaman seakan sesuatu menyeruak begitu saja di dalam jantung.

Berkat itu, aku perlahan panik dan berusaha mengelus apapun yang mampu memberikan ketenangan, mengusap, menepuk bahkan mengeratkan tanganku. Semua tak mampu, hatiku masih tidak nyaman melihatnya menitihkan air dari mata.

Kupeluk badan itu seakan merengkuh semua kesedihannya.

҉ ❀ ҉

Asa sudah tertidur sedari kata dokter jaga, sengaja membuatnya istirahat total.

Aku mengabarkan semua keluarga, kalau Asa masuk rumah sakit dan penyebab aku bisa bertemu lagi dengan bocah itu. Namun tak ada respon. Sebegitukah mereka tega membiarkan anak seusia Asa terlantar?

Kalau kedua orang tuaku masih ada apa yang akan mereka lakukan untuk Asa? Aku tak tahu. Aku tak pernah gelisah ketika mengurusi urusan pemerintahan dan bisnis tapi untuk Asa kenapa aku jadi berbeda. Mungkin karena situasi Asa.

Esoknya, aku sibuk mengurusi semua pekerjaan kantor bahkan melupakan presensi ponsel pribadi dengan banyaknya panggilan masuk. Sepulangnya dari hari yang sangat hektik, aku membasuh diri dan bersantai menenangkan pikiran sambil meminum secangkir teh hangat.

Saat mengecek ponsel langsung aku meletakkan cangkir asal hingga tehnya memercik keluar cangkir. Bahkan dengan baju santai ini aku bergegas keluar karena sedari pagi Asa tidak bisa ditemukan di sudut manapun rumah sakit dari kesimpulan yang kudapat bedasarkan semua panggilan.

Kalau benar Asa pergi kemana tempat yang anak itu tuju? Rumah? Apa itu masih layak disebut rumah? Setelah berbilah bilah lukanya ditoreh di sana. Namun aku nekat, memasuki pekarangan rumah berantakan nan sunyi dan mencekam.

Melewati garis polisi karena kejadian bunuh diri konyol yang Diharja perbuat.

"Asa?"

Aku memasuki setiap ruangan. Ada tiga ruangan yang sangat terlihat bersih, seakan seseorang baru saja membersihkannya. Jika benar ketiga ruangan itu milik mendiang Nasa, Gasa dan Merisa. Ruangan Asa pasti yang paling pojok. Pintunya hitam dan banyak goresan kapur, ruangannya milik Asa. Ada tulisan diantaranya yang menandakan kepemilikan itu.

Ruangannya tidak layak, terlalu banyak barang yang seharusnya tidak berada dalam ruangan ini. Ukuran ruangannya yang sempit, tetapi ada piano yang memakan setengah ruangan sendiri. Kemudian lemari dan rak - rak buku yang sangat berdebu dan bertumpuk. Hanya tuts piano yang bersih, seseorang memainkannya. Kemungkinan Asa sudah pergi, haruskah aku menunggunya kembali?

Entah mengapa, aku malah menatap ranjang tidurnya yang sempit, berhimpit barang yang seharusnya pensiun dalam gudang. Bahkan hangat bekas badan Asa pada ranjang masih tertinggal. Pasti badan anak itu demam tinggi kalau panas yang tertinggal terasa sekali.

Aku bangkit dan berinisiatif mencari kuburan yang mungkin didatangi Asa. Hari sudah gelap, kalau aku benar sampai menemukannya di kuburan, anak itu sangatlah nekat.

Benar saja saat aku memasuki tempat peristirahatan terkhir, hanya berkeliling sebentar aku langsung menemukan Asa. Tertidur diantara kuburan Nasa dan Gasa. Aku kembali ke mobil dan menunggunya bangun, karena tak lama dia bangun dan mengucapkan salam perpisahan untuk kedua saudaranya.

Asa masih tak menyadari keberadaanku, baju rumah sakitnya sangat mencolok dan kotor, membuat mata orang di jalan tertuju padanya. Asa melewati keramaian dengan lambat.

Aku mengikutinya dengan mobil perlahan - lahan, ada rasa syukur anak itu baik - baik saja.

Sampai di tempat sepi. Anak itu berhenti di jembatan dan memandangi air yang mengalir dibawahnya. Matanya menatap ke ujung kaki yang bahkan tidak beralas kaki. Dia berjongkok dan menunduk, menangis tanpa suara.

Ini terasa perih. Manatap punggungnya yang penuh kesedihan. Dia bangun dan berusaha memanjat tembok dengan mudahnya. Aku belum terlambat tapi Asa nekat menolak bantuan dari tanganku, dia berusaha melepaskan dan menceburkan diri ke air yang tenang di bawah sana.

Hingga bunyi itu menggema, bunyi Asa terjatuh hanyut di air yang tenang di bawah sana.

Ayah dan anak sama - sama konyolnya.

Yah, mungkin tidak konyol jika aku merasakan jadi Asa.

a s a •

t a m a t

16 Februari 2023

bercanda

ASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang