Kata Semoga

43 4 2
                                    

Mata kelamnya terbuka memperlihatkan genangan air yang masih mengelilinginya di kamar mandi, tepatnya di depan bath up dirinya tumbang. Tubuhnya kedinginan setengah mati, mengingat sepertinya ini sudah tengah malam. Perlahan dirinya beranjak dari kamar lembab itu dan beruntung ayahnya itu tidak mengunci pintu kamar mandi.

Lelah. Satu kata untuk Asa hari ini yang mampu menggambarkan keadaannya.

Dipeluknya tubuh sendiri sambil dengan pelan menggapai kamarnya. Bahkan ayahnya itu tidak menyentuh makan malam buatannya. Terlanjur capek, Asa tetap meneruskan jalannya hingga di kamarnya.

Dia mengganti baju yang basah itu dengan yang kering dan lekas membaringkan tubuh yang mulai terasa benar - benar kebas di seluruhnya saat hangatnya kamar menyambut badan. Sebenarnya dirinya masih menggigil kedinginan tapi tetap memaksa matanya tertidur karena tidak ingin merasakan lebih lama rasa remuk dibadannya.

Dibanding badannya, hatinya juga tidak kalah berantakan. Semua cemas terlilit menjadi satu, di dalam kegugupan tak berujung hanya bisa membuat Asa menghela napas putus asa berkali kali ditengah kehancuran badannya. Dia hanya mampu berharap, jika esok dia dan keadaannya membaik. Jika esok dia dan seluruh dari bagian badannya siap untuk kembali menjalani hari setelahnya.

Belum ada lima menit tertidur, Diharja memasuki kamar Asa dan meletakkan segelas air juga obat untuk Asa. Saat menyadari rumahnya benar - benar rapih karena Asa. Dirinya jadi iba. Diambilnya selimut dan menyelimuti Asa. Diharja sebenarnya tidak mau melakukan semua ini tapi saat melihat Asa beraktivitas dengan normal dia jadi geram. Tidak tau kenapa Diharja emosi melihat presensi Asa.

Diharja melihat sekeliling dan menyadari jika barang - barang terlihat rapih dan bersih seakan tidak pernah ada debu yang menempel. Barang yang sengaja dia letakkan di kamar Asa harusnya sudah dirinya buang dari lama mengingat Diharja sudah menggantinya tapi semuanya digunakan Asa. Bahkan piano diujung, sekarang benar - benar resik dan terawat.

Diharja yakin anak itu sangat kesepian sehingga berusaha memenuhi kamarnya sendiri untak menemani di kesunyian tapi Diharja tidak pernah melihatnya sebagai anak. Seakan tidak sekalipun, Diharja butuh seseorang untuk disalahkan dan itu Asa. Ciri Asa yang paling mencolok adalah rambutnya, saat yang lain punya rambut gelombang anak itu punya rambut yang lurus seperti Liana.

Semakin dilihat Diharja semakin benci, Asa yang paling mirip Liana dan Asa juga bukti pengorbanan terakhir istrinya dulu. Meskipun orang bilang itu sudah berlalu, Diharja tetap tidak terima. Liana kukuh ingin mempertahankan bayi ketiganya itu padahal sudah berjanji untuk tidak memaksakan diri. Nyatanya, Liana memilih meninggalkan Diharja mengurus ketiga anak kembarnya sendirian.

Diharja sudah tidak bisa menghentikan dirinya sendiri, dia tidak tau caranya menarik rem dari tabiat buruk memandang Asa dengan rasa benci. Sampai tidak tahu kapan Diharja akan dapat merasakan sesal mendalam atas perilakunya.

¤¤¤

Manik Asa terbuka, dirinya butuh sepuluh menit lebih meregangkan badannya sambil mengeluh nyeri dalam hati. Saat sudah mampu terduduk, hatinya terobati melihat air dan obat di nakasnya. Asa kadang tersiksa dengan sikap ayahnya, tapi dirinya tidak bisa berhenti berharap jika suatu saat ayahnya akan memberikan hati kepadanya. Asa tersenyum simpul dan meminum obat itu dengan senang hati walaupun belum sarapan.

Asa beranjak ke kamar mandi lalu menyadari sepertinya badan ini harus menghindari mandi, karena baru kemarin dirinya berjuang berkat air. Air jadi saksi bagaimana Asa tersiksa di kamar mandi lantai satu rumahnya. Sekarang, melihat wajahnya di cermin saja Asa jadi tidak ingin cuci muka. Banyak lebam biru dan luka kecil yang tercipta. Dengan handuk kecil yang diberi air, dirinya membasuh muka.

ASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang