Bertaut

48 5 4
                                    

Terkadang Asa bersama dengan otak kecilnya mencari - cari alasan, untuk tau mengapa dirinya selalu diperlakukan berbeda oleh Ayahnya sendiri. Orang yang seharusnya menjadi pelindung untuknya malah membuatnya menjadi asing dalam keluarga tanpa kepala rumah tangga itu. Saat Asa sakit, Ayah akan merawat seperlunya. Saat Asa terjatuh, Ayah hanya akan melihatnya tak perduli sekalipun Asa meronta ronta kesetanan maupun berguling dijalanan. Saat dirinya meminta bantuan, Ayahnya itu hanya akan memberikan tatapan yang membunuh.

Asa sudah pernah mencoba marah, menangis bahkan tertawa untuk sebisa mungkin membuat ayahnya itu memperhatikannya, tapi hal itu tidak pernah terjadi. Ayah tidak menginginkan Asa. Padahal saat berkaca Asa selalu bertanya, apa yang membuat dirinya berbeda dari Nasa dan Gasa sedangkan mereka bertiga ini kembar, tapi tidak pernah ketemu jawabannya.

Saat dirinya masih di taman kanak kanak, ayahnya datang dengan senyum sambil mengabarkan Nasa dan Gasa kalau besok pria itu akan membawa ibu baru untuk mereka. Asa yang diujung hanya mencuri dengar sambil terus menatap wajah sang ayah, wajahnya bahagia. Melihatnya hati Asa entah mengapa ikut tersenyum. Tapi itu tidak berlangsung lama, kalau sang ayah membawa kabar gembira untuk Nasa Gasa, tidak untuk Asa.

Ketika Nasa dan Gasa sibuk dengan mainannya, tangan Asa ditarik ke dalam kamar oleh Ayah. Asa berdebar dan menyangka jika dirinya juga akan dibagikan kebahagiaan itu dari mulut ayahnya. Tapi tidak. Ayahnya malah memperingatinya. Sisi lengannya dicengkram kuat.

"Besok ayah mau bawa ibu baru, jangan buat masalah. Terima dia dengan baik besok. Jangan juga membuatnya melepas nyawa."

Asa tidak mengerti awalnya, tapi dia merasa itu bukan kalimat yang Asa bisa rasakan kebahagiaannya. Memang Asa pernah melepas nyawa siapa?

Merisa datang dengan segala perilaku malaikatnya, membuat tiga anak jiwa itu merasa sempurna karena kini sudah memiliki ibu. Baru 6 bulan Merisa menikah dengan Diharja, tentu saja dia sadar akan perbedaan perilaku Diharja untuk ketiga anaknya. Salah satunya seperti kehabisan kasih sayang. Tidak dapat satupun. Karena itu, terjadi pertengkaran untuk yang pertama dan Asa mendengar semuanya karena dirinya masih terjaga.

"Mas, kamu tega biarin Asa nggak dapat pelajaran lebih untuk membaca? Kepala kamu dimana, sampai cuma masukkan Nasa dan Gasa saja ke bimbel membaca, sedangkan Asa enggak?"

"Merisa, aku udah bilang, aku nggak akan urus Asa. Bahkan tadinya aku ingin membuangnya!"

"Mas! Udah gila ya kamu! Asa juga anak kamu, jelas - jelas muka mereka bertiga aja sulit dibedakan, sekarang kamu nggak mau akui Asa?! Anak itu salah apa, Mas?!"

"DIA UDAH BUNUH LIANA!"

"LIANA KEHILANGAN NYAWANYA KARENA ANAK ITU!"

Meskipun tidak mengerti benar, Asa paham kalau kalimat terakhir yang didengarnya bukanlah kabar baik. Jadi saat dia hanya berdua saja dengan Merisa, Asa bertanya.

"Mamah, arti kehilangan nyawa itu apa?" Merisa yang tadinya semangat mendengar mendadak merubah raut mukanya.

"Asa kamu dengar dari mana?" tanya Merisa cemas. Asa terdiam. Perlahan Merisa melepas alat masak yang sedang digelutinya dan mendekat ke Asa. Menggendongnya untuk duduk di atas kursi tinggi sebelahnya. Menatap mata Asa sejenak dan menghembus napas pendek.

"Bukan hal yang baik ya Mah?"

Lalu Merisa memeluknya. Asa aneh, Merisa belum lama jadi salah satu orang tuanya tapi tangan wanita itu adalah yang paling hangat dan yang paling nyaman.

Asa banyak menghabiskan waktu hanya bersama Merisa, Nasa dan Gasa sibuk kesana kemari diajak Ayah melihat dunia luar, sedangkan Asa yang terlambat membaca, terlambat menghitung, terlambat belajar olahraga. Merisa merasa miris. Jadi, wanita itu yang putuskan untuk memihak Asa setelah 6 bulan pernikahan, pertengkaran yang menyedot suasana hangat dalam rumah sangat terasa. Saat dua saudaranya dapat bimbingan di tempat berbeda, Asa dibimbing Merisa. Sebatas Merisa memberi tahu apa yang dia percaya untuk Asa bisa pahami. Namun, Merisa yang juga bukan manusia sempurna, bisa sangat rapuh. Membuat Ayah marah kala wanita itu berubah maniak dan salahkan Asa atas berubahnya Merisa. Pertama kali Asa terkena kekasaran fisik dari ayahnya. Sangat menyakitkan, hati yang patah berbalur luka amarah. Ayahnya begitu bukan tidak punya alasan. Dia marah akan kehadiran Asa. Sebab ketika Asa hadir, napas ibunya berakhir.

"Ayah maafin Asa!" Maafnya padahal Asa tidak bersalah.

Gema suara Asa menggedor pintu sendirian di rumahnya yang kosong. Tangisnya sepilu lautan lara. Ketika Merisa jadi maniak dirinya juga sama khawatir dan cemas. Namun, Ayah hanya meninggalkannya dan malah menguncinya di dalam kamar, tidak memperbolehkan Asa tau keadaan Merisa.

Nasa dan Gasa yang sempat marah pada Asa waktu sadar ibu barunya sangat memihak Asa memeluk dirinya sedih. Mereka juga tidak pernah tau alasan Diharja selalu bersikap berbeda, selayaknya anak kecil yang tidak banyak berpikir.

"Asa tenang aja nanti mamah pulang kok, kalau mamah akan pulang Gasa akan bilangin Asa, jadi Asa jangan nangis terus!"

"Iya, nanti Nasa yang akan jaga mamah kalau Ayah bawa kita jenguk mamah."

"Asa takut mamah kenapa - kenapa," tutur Asa masih dalam tangisnya.

"Nasa, Gasa ayo balik ke kamar kalian." Suara bariton Diharja, mengalihkan atensi ketiganya. Terutama, Nasa dan Gasa yang perlahan menjauhi tempat Asa.

"Ayah, Mamah ... gimana?" dengan takut Asa bertanya pada pria dihadapannya.

DUK

Mulanya Asa kaget, tapi begitulah awal Asa menjalani hari dengan doa yang sama, doa agar ayahnya tidak lagi melakukannya. Nyatanya doa Asa tidak pernah benar - benar terkabul. Ketika ayahnya itu marah dirinya yang menjadi sasaran untuk ditendang, dibanding bola, sepertinya Asa hanya bisa menarik Ayahnya untuk memukuli maupun menendangnya bukan untuk perhatiannya.

҉ ❀ ҉

Mata bulat Asa terjaga saat melihat Ayahnya yang melangkah lemah keluar rumah sakit, netranya berharap agar Ayahnya tidak melakukan hal bodoh lagi selama Asa masih disini. Entah dengan alasan apa Asa beberapa kali dicegah kabur dari ruangan maupun jika terlihat melepas infus ditangannya. Asa duduk di ranjang ketika seseorang berbalut jas putih datang memeriksa.

"Malam ini tolong dijalani dengan semangat ya?" Meskipun tidak penasaran dengan artinya dokter itu menjawabnya sendiri.

"Kalau ada keluhan malam nanti, tekan tombol ini ya." Asa hanya mengangguk saja.

Hingga malam tiba, dirinya baru tau maksud dokter itu. Saat bulan bertengger indah dirinya jadi batuk - batuk, sesak napas dan nyeri dada. Asa tak henti hentinya mendekap sendiri dadanya yang nyeri. Ini tak pernah dirasakan sebelumnya. Jadi dia hanya bisa meremat dada dan tangan satunya meremat selimut menyalurkan rasa sakit.

Berangsur sebentar dokter jaga malam mengunjunginya dan meneriakinya. Hal terakhir yang Asa lihat adalah muka panik dokter.

҉ ❀ ҉

Membuka mata dengan deru napas yang kuat, dirinya bermimpi sedang dipukuli Ayah lagi. Sudah sering terjadi tapi dirinya masih belum terbiasa dengan itu. Asa bangkit dan ke kamar kecil sambil mendorong tiang infus yang lebih tinggi dibanding dirinya. Saat keluar dokter yang mendatanginya kemarin menatapnya.

"Sudah merasa baikan?" Tangannya memeriksa kepala Asa. Membantu Asa kembali berbaring juga.

"Badanmu dingin, kalau mual atau sesak napas seperti malam tadi tolong cepat beritahu dengan tekan tombol ini!" Karena Asa yang terlihat melamun, dokter itu menegur.

"Kasa? Pasien Kasa?" Asa hanya mengangguk lemah. Hari ini dirinya mengantuk, ingin tidur hingga sore berhubung tidak ada yang ingin dilakukannya. "Nih."

"Kalau ingin bicarakan sesuatu atau bertanya, tuliskan di sini." Pria itu mengalungkan buku kecil dan pulpen yang sudah dalam bentuk kalung. Asa langsung menuliskan terima kasih dan pria itu tersenyum hangat.

Sudah terbilang empat hari dirawat Asa jadi sering keliling. Saat sore tiba dirinya ke taman dan melihat bunga yang kuncup, sepertinya esok akan mekar. Sambil menatap matahari terbenam bergantian, pria itu datang. Manusia yang menolong dirinya itu kembali membawa koper besar dan masih berbalut setelan jas.

"Apa kau sudah baik - baik saja?" tanyanya.

Asa mengangguk. Sharen meraih tangan bebas Asa, otomatis membuatnya berdiri dari acara jungkoknya yang sedang memperhatikan bunga kecil yang kuncup.

Sharen melangkah diikuti Asa yang beriringan mengajak infusnya juga. "Maaf baru sempat berkunjung, aku orang yang sibuk. Beruntung, kau masih belum pergi dari sini."

Untung? Apa yang di dapat Sharen dari Asa? Asa merasa tidak ada untungnya. Justru dirinya hanya beban.

a s a

11 Maret 2023

ASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang