Nepenthe

38 6 0
                                    

Entah sudah kesekian berapa, Sharen menghela napas sambil menatap mata tertutup yang biasanya mengarahkan bola mata boba kemanapun sesukanya, sekarang malah tertutup lelap.

Tenang sekali si Asa ini di kursi sebelah kemudinya dengan sedikit miring ke kanan. Bagai tanpa beban, bagai tanpa cerita panjang. Sharen kadang getir dan nelangsa melihat wajah Asa yang seharusnya secerah saat bocah itu dulu bertemu dengannya saat masih kecil. Mata berbinarnya yang mencekal tangan Sharen muda dengan cekatan dan kuat, beralasan tidak mau ayah marah padanya.

Padahal yang seharusnya kena marah adalah Sharen, yang menabrak anak kecil itu saat kaki kecilnya sibuk melangkah sedangkan tangannya melindungi dengan penuh hati pisang satu sisir yang hanya empat buah saja. Sharen yang ceroboh menabrak bocah polos itu sampai tangannya tergores berdarah.

"Jangan bilang - bilang nanti ayah malah!" Mata besarnya berkaca-kaca.

"Sharen?"

"Mah, dia jatoh ketabrak aku ..." adu Sharen pada mamahnya yang dengan penasaran menanti anaknya ke ruang terbuka di halaman belakang tempat mereka semua berkumpul.

"Astaga ... ini Gasa, Nasa atau Asa?" tanyanya pada anak kecil yang dibantunya bangun.

"Aku Asa, tante. Kakak tablak aku, pas ... yah pisangnya jatoh loh!" serunya tambah membuat kaget. Sharen muda buru-buru menyelamatkan pisang, yang aslinya tidak apa apa juga.

"Asa?"

"Tante!" wajah Asa sumringah melihat wanita cantik yang mencarinya.

"Maaf tante, Asa jatoh tadi ketabrak Sharen."

"Asa nggak apa - apa?" Anak itu mengangguk nyengir tanpa dosa.

"Asa mau maafin kakak Sharen?" pinta Merisa pada Asa. Sharen sadar, dia seharusnya minta maaf pada Asa.

"Maaf ya," ulur Sharen muda dengan cepat.

"Iya, Asa maafin kakak!" Semangat Asa kala itu membuat Sharen tersenyum kecil karena mata besar kepunyaan Asa itu sangat lucu.

Sharen berhenti melamun saat Diharja yang sepertinya membeli makan sudah kembali, sementara anak yang tadi menahannya sampai ayahnya kembali itu malah terlelap. Sharen juga tidak ingin segera membangunkan Asa untuk sekedar memberi informasi jika Ayahnya itu sudah pulang lagi.

Belum ada beberapa menit dari Sharen menjalankan mobilnya Asa membuka mata dan melihat kebelakang mencari apa ayahnya itu sudah pulang pasca keluar tadi.

"Ayah udah pulang, dengan selamat." Memakai kata Ayah untuk ditujukan pada Asa, terasa asing sebenarnya. Tapi, Sharen nyaman bicara santai begini dengan Asa.

Hela napas lega Asa terdengar.

"Mau kemana habis ini?" Asa terdiam dan menggeleng kecil. Pasti ke suatu tempat, meskipun belum tau kemana.

"Kita ke rumah sakit sebentar, lalu pulang." Mendengar kata pulang, Asa mencekal lengan Sharen dan menggeleng keras.

"Ke rumahku, tidak mau?" Asa diam, mungkin dia kira dia akan dipulangkan ke rumah yang tadi mereka amati dari sore. Ternyata pulang ke rumah Sharen.

• α s α •

"Pak Sharen!" Dahi Sharen mengerut saat melihat sekertarisnya memanggil dan berjalan kearahnya selepas Sharen membuka gerbang.

"Ada apa Pak malam - malam kemari?" tanya Sharen menatap bapak dan anak didepannya dengan tangan yang masih bertautan gugup.

"Saya minta maaf Pak, udah bikin masalah kemarin!" Sekertaris sekaligus supir pribadi yang senantiasa mengantar dan menjemputnya ke kantor itu membungkuk menyesal.

"Ah, itu. Nggak apa - apa." Anak disebelahnya itu ikut membungkuk saat sadar Sharen menatapnya juga. Dia pasti anak dari sekertarsinya.

Sharen memutari mobil SUV nya dan membuka pintu untuk Asa turun. Pajama rumah sakit yang masih melekat serta ransel digendongannya itu membuat Asa jelas sekali baru keluar rumah sakit. Wajah pucatnya juga masih melekat.

"Astaga, Pak ini anak kemarin?" Sharen mengangguk.

"Namanya Asa Pak, dia sepupu jauh saya. Sekarang udah baik - baik aja," tutur Sharen membenarkan sedikit rambut Asa.

"Pak, saya minta maaf sekali lagi, Dek Asa saya minta maaf!"

"Nggak apa apa Pak, besok kalau badan kurang sehat jangan paksain diri ya?" Pria lawan bicaranya itu mengangguk pasti.

Kepribadian Sharen yang memang ramah anak, tertangkap mata anak sekertarisnya yang tajam namun penuh keingintahuan, dia bahkan sempat berbincang pada anak sekertarisnya dan menyelipkan beberapa lembar uang karena anak itu yang datang mengunjungi ayahnya karena libur sekolah. Pria itu mengangguk lalu pamit permisi.

"Namanya, Eric. Katanya mau pindah kesini biar nggak pisah sama Papahnya terus." Asa tidak tanya tapi mengangguk saat Sharen mengulur tangannya untuk membawanya masuk rumah.

Rumah Sharen sangat luas namun terasa sepi, gaya kayu yang banyak tertangkap mata membuat Asa mengagumi sejenak, sangat berbeda dengan rumahnya yang serba putih. Sharen ke dapur mengambilkan minum untuknya.

"Duduk," pintanya. Sebenarnya Asa ragu, Sharen memintanya ke rumahnya atas tujuan apa? Tidak mungkin kan dia memperbolehkan Asa tinggal disini?

"Ingat nggak, kita pernah ketemu waktu kamu masih kecil?" Asa menukik sebelah alisnya. Asa kira Asa-Sharen yang mengenal satu sama lain untuk cerita Sekertarisnya itu hanya bualan. Ternyata, keduanya memang masih saudara jauh meskipun hanya sekali bertemu.

Sharen tersenyum sambil tangannya sibuk mengambilkan lauk pauk sederhana untuk Asa makan malam. Dirinya bahagia ada seseorang yang bisa diajak bicara malam hari ini.

"Dulu waktu di rumah nenekmu kita ketemu, kamu masih panggil Tante Merisa dengan sebutan Tante."

Asa mengerutkan alisnya, mungkin Asa ingat tapi tidak jelas dikepalanya. Pantas saja Sharen terlihat familiar perawakannya, meski wajahnya yang jelas saja sangat terkenal karena pernah menjadi walikota.

Malam itu cerita-cerita hangat dari Sharen membuat Asa menyungging senyum sesekali. Makan malam yang sederhana ini mungkin bisa dia kenang sebagai pengalaman pertama yang menyenangkan bertemu manusia baik seperti Sharen, yang sehangat Merisa.

Asa masih bisa bahagia, kan?

• α s α •

Sept 27, 23

ASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang