Prolog

317 46 6
                                    

Langit masuk ke dalam dengan terburu-buru karena baru sampai depan rumahnya, hujan mulai turun. Sambil membuka sepatu di teras dan meletakkannya ke rak sepatu, Langit membuka jaket biru mudanya. Lalu ia masuk ke ruang tamu sambil menenteng tas dan melihat ada Bunda bersama Abimanyu—kakak Langit, dan seorang pria yang tidak Langit kenal.

"Assalamualaikum, Bun, bang Abi,"

"Waalaikumsalam." Bunda, Abimanyu, dan pria itu menjawab salam Langit.

Langit mendekat dan mencium tangan dari tiga orang yang lebih tua darinya. Dengan ragu, Langit berdiri canggung sambil menatap Bunda. "Bun, aku masuk dulu, ya,"

"Langit."

Langit menoleh, baru saja ingin masuk ke dalam dan pergi ke kamar, Bunda memanggilnya. "Iya, Bun?"

Bunda tersenyum ramah, wanita itu menarik lembut tangan Langit dan menyuruh Langit duduk di samping Abimanyu, di sofa panjang. "Langit duduk dulu, ya, Bunda mau bicara."

Anak penurut itu mengangguk. Dahinya berkerut. Dia tidak betah duduk berlama-lama dengan orang asing. Ditambah ia baru pulang sekolah, pasti bau badannya tercium. Langit menggulung jaketnya di atas pangkuannya, lalu menatap Abimanyu dengan tatapan bertanya.

Abimanyu itu jutek sekali. Makanya dia hanya memberi tatapan malas sambil membuang wajahnya. Tipikal Abimanyu yang selalu membuat Langit sedikit kesal.

"Abi sudah tahu. Kalau Langit... Bunda mau tanya ke Langit, kalau Bunda nikah lagi sama om Baskara, gimana?"

Langit terkejut, membeku, dan ia nyaris tidak bisa menetralkan ekspresinya. Tangannya meremas jaket yang digulung asal. Ia menatap Bunda dan om Baskara bergantian. "Ini om Baskara?" Langit bertanya balik.

Bunda mengangguk.

Baskara maju sedikit, tersenyum ramah pada Langit, sebagaimana dia ingin menarik perhatian Langit agar Langit tahu Baskara bukan seperti Ayah Langit yang sebelumnya. "Saya Baskara. Sebelumnya, nama kamu Langit 'kan?"

Langit mengangguk tipis dan kaku. Ia menjauhkan diri dan gesturnya terkesan menolak keberadaan Baskara.

"Nah, Langit, saya minta maaf kalau ini terkesan terburu-buru. Tapi... izinkan saya meminang Bundanya Langit dan Abi. Ini... bukan hanya tentang hasrat seksual—maaf Langit, kamu pasti paham apa yang saya bicarakan. Tapi ini tentang kebutuhan dalam rumah tangga. Saya membutuhkan seseorang, pendamping, sampai ke masa tua nanti. Langit, Abi, apa kalian mengizinkan saya menikahi Bunda kalian?"

Pertanyaan dari Baskara seolah mengambang di udara tipis. Abimanyu yang sudah menduga hal ini hanya bisa menahan gejolak amarahnya. Dia marah karena Bunda ingin menikah lagi. Dia juga marah karena pastinya perhatian Bunda akan terbagi; entah untuk Ayah baru mereka atau anak-anak sambung Bunda. Lalu... Abimanyu juga takut kalau Baskara sama seperti Ayah mereka sebelumnya yang suka main tangan dan menyiksa... terlebih menyiksa Langit.

Langit menahan air mata di pelupuknya. Matanya berkaca-kaca. Sama seperti Abimanyu, dia kecewa dan marah, namun yang selalu Langit inginkan adalah kebahagiaan Bunda. Selama ini Bunda hidup sebagai single parent dan kesulitan. Langit mengambil napas kemudian menatap Bunda. "Bunda udah yakin?" tanya Langit dengan suaranya yang tidak karuan.

Bunda mengangguk. Ia tersenyum pada Langit. "Iya, Langit. Bunda yakin."

"Emangnya... sudah berapa lama Bunda kenal sama om Baskara?" tanya Langit lagi.

"Baru beberapa bulan ini, Langit," bukan Bunda yang menjawab, melainkan Baskara. Ia tersenyum pada Langit. "Kami sudah mengobrol tentang rumah tangga ke depannya, tentang anak-anak, ekonomi, dan segala macamnya. Sekarang hanya tinggal meminta izin dari anak-anak." lanjutnya dengan tenang, namun siapa sangka, dadanya berdebar seperti sedang lari marathon.

Candramawa Sang LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang