05 : Figur Ayah

165 31 0
                                    

Kala itu, Abimanyu masih mengingat jelas bagaimana Langit disiksa oleh Ayahnya sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kala itu, Abimanyu masih mengingat jelas bagaimana Langit disiksa oleh Ayahnya sendiri. Ia baru berusia 9 tahun sedangkan Langit berusia 5 tahun. Abimanyu yang baru di kelas 4 SD harus pulang dan menyaksikan punggung Langit dipukuli oleh Ayahnya sendiri. Bunda menangis di sudut ruangan sambil memeluk Angkasa, kakak kembar Langit.

"AYAH!" Abimanyu berteriak. Menarik Ayah dan menyuruhnya berhenti. Sekeras apapun usaha Abimanyu, atau sekeras apapun teriakan Langit yang memohon untuk berhenti, serta tangisan Bunda dan Angkasa, Ayah tidak akan mendengarnya. "AYAH, BERHENTI! KASIHAN LANGIT, AYAH!"

"DIAM KAMU, ABI! LANGIT SUDAH MEMPERMALUKAN KELUARGA! MAU DITARUH DI MANA MUKA GUA, BANGSAT?!"

Ayah kembali memukul sapu lidi ke punggung Langit membuat Langit kembali menangis keras.

Abimanyu terpental karena Ayah mendorongnya. Matanya berkaca-kaca melihat kulit di sekujur tubuh Langit memerah. Suara Langit yang sudah serak, menangis hebat, bahkan sampai hidungnya mimisan pun tidak membuat sang Ayah berhenti. "Ayah, berhenti..." ia mulai menangis tersedu. Makin tidak kuat mendengar tangisan si bungsu.

"Ayah! Ayaaaah!" Angkasa lari setelah berhasil keluar dari pelukan erat Bunda. Angkasa menarik tangan Ayah sekuat tenaga. Meski sebenarnya tenaga anak kecil berusia 5 tahun tidak ada apa-apanya dengan orang dewasa. Namun ajaibnya, Angkasa bisa membuat Ayah berhenti memukuli Langit. "Ayah, sudah. Maafin Angkasa sama Langit, tadi—tadi—yang jatuhin gelasnya Angkasa, bukan Langit, Ayah!"

"Angkasa... Angkasa anak Ayah..." tangan Ayah melepaskan sapu lidi yang terjun bebas ke atas lantai. Ayah terduduk memegang kedua bahu Angkasa yang sedang menangis. "Angkasa jangan menangis. Maaf kalau Ayah harus memperlihatkan ini pada kamu. Harusnya Ayah jangan kasih kamu lihat..."

Angkasa menggeleng. Menangis kencang. "Ayah jahat! Ayah pukul Langit! Ayah sakitin Langit!"

"Ayah tidak jahat!" spontan Ayah berteriak membuat Angkasa ketakutan, begitu juga Langit yang terbaring lemah di atas lantai dan Abimanyu yang menangis di dekat kursi. Menyadari kalau teriakannya membuat Angkasa makin ketakutan, lantas Ayah kembali bicara, "Ayah hanya mau memberi pelajaran pada Langit, Sayang. Langit itu anak nakal. Ini hal wajar. Iya bukan, Rain...? Rain....?" Ayah menatap Bunda terduduk, menangis tanpa suara, menutup kedua telinganya.

Abimanyu tahu keluarganya sakit.

...

Galang mengintip apa yang sedang terjadi. Sore ini menjelang magrib, ia memang sudah pulang lebih dulu karena semua teman-teman tongkrongannya sedang sibuk, kelas kuliahnya pun sudah selesai. Tidak tahu mau melakukan apa, jadi Galang lebih memilih pulang lebih awal mengundang tatapan aneh dari adik-adiknya. Namun melihat Papa dan Bunda yang justru baru pulang dengan Langit dan Abimanyu yang berjalan di belakangnya membuat Galang keheranan.

Mereka berempat masuk ke kamar Langit. Dan Galang penasaran apa yang sudah terjadi, karena itulah ia mengintip.

"Kelakuan kamu itu udah di luar batas wajar, Langit!" Bunda berteriak resah. Galang bisa mendengar suaranya bergetar, begitu juga dengan tangannya.

Candramawa Sang LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang